Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas pada Senin malam mengeluarkan dekret presiden untuk membentuk komite penyusun konstitusi interim.
Langkah ini diumumkan oleh kantor berita resmi Palestina, Wafa, dan dinilai sebagai bagian dari upaya persiapan menuju pembentukan negara Palestina.
Konteks: Dorongan Pengakuan Negara Palestina di PBB
Mengutip nationalpost, keputusan Abbas datang di tengah meningkatnya dukungan internasional bagi pengakuan negara Palestina. Beberapa negara Barat, termasuk Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia, telah menyatakan niat mereka untuk mengakui Palestina dalam pertemuan Majelis Umum PBB bulan depan.
Menurut laporan Wafa, keputusan Abbas dilakukan sebagai persiapan menjelang pemilu umum Palestina setelah berakhirnya agresi Israel di Gaza, penarikan pasukan Israel dari wilayah tersebut, dan transisi menuju pengakuan resmi Palestina sebagai negara berdaulat.
Baca Juga: Hamas Terima Usulan Gencatan Senjata 60 Hari dengan Israel, Serta Pertukaran Tahanan
Pemilu legislatif terakhir di wilayah Palestina berlangsung pada 25 Januari 2006, ketika kelompok Hamas memenangkan mayoritas kursi di Dewan Legislatif Palestina.
Abbas sendiri terakhir kali terpilih sebagai presiden pada 9 Januari 2005 dengan masa jabatan empat tahun yang seharusnya berakhir pada Januari 2009. Namun, hingga kini di usianya 89 tahun, ia masih memimpin Otoritas Palestina.
Sikap Israel: Menolak Negara Palestina
Israel secara konsisten menolak pembentukan negara Palestina. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa baik Hamas maupun Otoritas Palestina tidak dapat menguasai Gaza setelah perang berakhir.
Ia menambahkan bahwa entitas yang mengontrol Gaza di masa depan haruslah pihak yang mampu “hidup berdampingan dengan Israel dalam damai.”
Misi Komite Konstitusi Palestina
Menurut laporan Wafa, komite yang dibentuk Abbas bertujuan untuk “meletakkan dasar bagi pendirian Negara Palestina dan institusinya”. Draf konstitusi yang akan disusun disebut akan memuat prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, pemisahan kekuasaan, penghormatan serta perlindungan hak dan kebebasan publik, serta pergantian kekuasaan secara damai.
Baca Juga: Imbas Pengakuan Palestina, Israel Balas dengan Cabut Visa Diplomat Australia
Di sisi lain, langkah Palestina ini memicu reaksi keras dari kalangan politik Israel. Pada Senin, delapan anggota parlemen dari Partai Likud menerbitkan surat terbuka kepada Netanyahu, mendesaknya untuk menerapkan hukum sipil Israel di sebagian wilayah Tepi Barat.
Surat tersebut menekankan bahwa langkah tersebut merupakan “kebutuhan nasional dan respons yang diperlukan terhadap momentum internasional yang kian besar untuk mengakui negara Palestina.”
Dan Illouz, anggota Knesset yang menginisiasi surat itu, menegaskan: “Momen untuk menerapkan kedaulatan adalah sekarang. Kita memiliki pemerintahan sayap kanan yang stabil, dukungan dari pemerintahan Amerika yang simpatik, dan ancaman nyata dari negara-negara yang mendorong pendirian negara teroris Palestina di jantung Tanah Israel.”
Dorongan untuk memperluas kedaulatan Israel semakin kuat. Pada 23 Juli, mayoritas anggota Knesset, yakni 71 dari 120 anggota, menyetujui resolusi tidak mengikat yang mendukung penerapan kedaulatan Israel atas Tepi Barat dan Lembah Yordan.