Sumber: Reuters | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. India ingin mematuhi sanksi global, termasuk sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Venezuela dan Rusia. Tapi, India juga perlu mempertahankan kekuatan dan kepentingan strategisnya sendiri.
Pernyataan ini muncul dari Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman dalam sebuah wawancara pada hari Selasa. AS memberlakukan sanksi berat pada industri minyak Venezuela sejak Januari lalu. Langkah ini telah membuat takut beberapa pelanggan global.
Tapi karena sulitnya pasokan minyak mentah jenis heavy oil, perusahaan penyulingan India Reliance Industries Ltd telah membeli minyak mentah Venezuela dari perusahaan Rusia, Rosneft. Reliance Industries akan memulai kembali pengangkutan minyak langsung dari Venezuela setelah jeda empat bulan.
Baca Juga: Belanda bisa dorong CPO Indonesia di Uni Eropa
Sitharaman mengatakan, pemerintah India telah menyatakan pandangannya ke AS. "Dalam masalah spesifik yang sangat penting bagi kepentingan strategis India, kami telah menjelaskan kepada AS bahwa India adalah mitra strategis bagi AS dan Anda ingin mitra strategis menjadi kuat dan tidak melemah," kata dia kepada Reuters.
"Kami menghargai kemitraan yang kuat dengan AS, tetapi kami harus sama-sama diizinkan menjadi ekonomi yang kuat," imbuh Sitharaman.
Dana Moneter Internasional menurunkan prospek pertumbuhan India pada tahun 2019 karena permintaan domestik yang lebih lemah dari perkiraan. IMF mengungkapkan, perang dagang AS-Tiongkok akan memangkas pertumbuhan global 2019 ke laju paling lambat sejak krisis keuangan 2008-2009.
Produk domestik bruto India kuartal kedua lalu tumbuh pada laju terlemah sejak 2013. Hal ini memicu harapan stimulus lebih lanjut. "Gejolak global semakin kuat dari hari ke hari," kata Sitharaman.Dia mengatakan, India belum menutup pintu untuk stimulus fiskal lebih lanjut.
Baca Juga: India bakal batasi impor CPO Malaysia, Mahathir turun tangan
India telah berusaha untuk mendorong pertumbuhan domestik melalui paket infrastruktur. Stimulus lainnya adalah program pinjaman baru dari perbankan yang telah mencapai sekitar 80.000 crore atau sekitar Rp 158,73 triliun.