Reporter: Edy Can, BBC | Editor: Edy Can
CANBERRA. Qantas membukukan kerugian sebesar US$ 256 juta akibat naiknya harga minyak mentah. Ini kerugian pertama kali sejak maskapai Australia itu diprivatisasi pada 1995 lalu.
Dalam laporan keuangan yang berakhir 30 Juni lalu, Qantas menderita kerugian sebesar US$ 256 juta setara A$ 244 juta akibat pengeluaran minyak meroket sebesar A$ 4,3 miliar. Angka ini naik sebesar A$ 645 juta dibandingkan tahun lalu. Maskapai ini mencatat keuntungan sebesar A$250 juta pada tahun lalu.
Hubungan yang tidak harmonis antara pihak manajemen dengan karyawan tahun lalu juga menggerus kinerja Qantas. Akibat konflik tersebut, maskapai ini menderita kerugian sebesar A$194 juta.
Akibat kerugian ini, Qantas membatalkan pemesanan 35 pesawat Boeing Dreamliner senilai US$ 8,5 miliar.
Chief Executive Officer Alan Joyce memperkirakan, kinerja perusahaannya berjalan lamban tahun mendatang. Salah satu alasannya karena ketidakpastian ekonomi dunia. "Sangat jelas, kami berhadapan dengan situasi yang sulit dan tidak pasti di Inggris, Eropa dan Amerika Serikat," katanya.
Pada kinerja tahun lalu, Qantas telah kesulitan bersaing dalam operasional internasional. Permintaan penerbangan internasional maskapai Negeri Kangguru ini melorot. Tercatat, kerugian dalam bisnis penerbangan internasional sebesar A$ 450 juta. "Ini tantangan terbesar kami," katanya.
Untuk memperbaiki kinerja ini, Qantas telah mengkaji sejumlah rute yang tidak menguntungkan. Mereka juga melakukan restrukturisasi perusahaan dengan memangkas 2.800 karyawan.
Joyce yakin perbaikan ini akan mulai terlihat pada 2012/2013 mendatang. Dia meramalkan bisa menghemat sebesar A$ 300 juta per tahun.
Para analis menilai, selain soal jumlah karyawan, Qantas juga harus berhadapan dengan upah buruh yang tinggi. "Bandingkan dengan maskapai Asia lainnya. Upah buruh masih menjadi isu," kata analis Credit Suisse Timothy Ross.