Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - MUMBAI. Kala India memperkenalkan ketentuan terkait resolusi kebangkrutan (kepailitan) di tahun 2016 silam, pejabat pemerintah negara itu berharap agar bank-bank plat merah yang terbebani utang atau kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) untuk segera melakukan pembenahan.
Cara ini diharapkan mampu menciptakan pasar yang dinamis dan meningkatkan mitigasi bank lewat restrukturisasi.
Pemerintah juga berkeyakinan langkah tersebut mampu menghilangkan hambatan terhadap kinerja bank, yang pada akhirnya bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara itu lebih tinggi.
Namun kenyataannya, setelah tiga tahun berselang. Keinginan tersebut jauh dari harapan, pihak litigasi telah mengikat dan menahan penyelesaian beberapa kesepakatan restrukturisasi dengan nilai besar.
Singkat cerita, industri perbankan pun mulai menjual kredit macet dengan harga yang tinggi ketimbang menunggu sistem baru tersebut.
Praktis, hal ini merupakan berita buruk bagi Perdana Menteri Narendra Modi yang menginginkan realisasi kredit yang tinggi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi serta menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan menjelang masa pemilihan pemimpin yang akan jatuh tempo pada Mei 2019.
"Penundaan (dalam aturan resolusi) pasti akan mempengaruhi penelitian dan perencanaan para investor keuangan," kata Vijay Padmanabhan, Direktur KKR & Co. Inc salah satu perusahaan ekuitas swasta terbesar di dunia seperti dikutip Reuters, Minggu (27/1).
Meski begitu, Padmanabhan mengatakan proses kebangkrutan suatu perusahaan saat ini lebih cepat dari sebelumnya. Ia memperingatkan, setiap litigasi harus dibatasi dan harus diperhatikan periodenya untuk menghasilkan minat yang serius di kalangan investor sektor keuangan
Asal tahu saja, aturan tentang kepailitan dan kebangkrutan yang diperkenalkan pada Mei 2016 lalu ini memang memungkinkan bagi kreditur baik yang besar hingga kecil untuk mengajukan petisi kebangkrutan terhadap perusahaan yang telah gagal bayar utang.
Setelah petisi ini diterima dan disetujui oleh pengadilan, maka rencana resolusi harus diputuskan dalam waktu 270 hari, kalau tidak maka perusahaan tersebut bakal dilikuidasi.
Ide dari aturan ini adalah memberikan insentif bagi debitur dan kreditur untuk bernegoisasi atas utang dibanding menghadapi proses kebangkrutan.
Hal ini juga diprediksi bisa menarik investor asing untuk mencari investasi pada perusahaan yang terlilit utang dengan pengembalian pendapatan yang tinggi.
Namun pada kenyataannya, di pengadilan hal ini tidak berjalan mulus. Contohnya kasus Essar Steel yang berutang US$ 7,11 miliar pada bank BUMN India.
Mengajukan kepailitan di pengadilan untuk menjual produsen baja Arcelor Mittal yang prosesnya sudah berjalan 1,5 tahun ini. Situasi ini membuat kreditur kelimpungan lantaran tidak mengetahui kapan uangnya akan kembali.