kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.501.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.700   -85,00   -0,51%
  • IDX 8.647   2,68   0,03%
  • KOMPAS100 1.194   -2,61   -0,22%
  • LQ45 847   -5,47   -0,64%
  • ISSI 309   -0,04   -0,01%
  • IDX30 437   -2,15   -0,49%
  • IDXHIDIV20 510   -4,16   -0,81%
  • IDX80 133   -0,62   -0,47%
  • IDXV30 139   0,36   0,26%
  • IDXQ30 140   -0,77   -0,54%

Trump 2025: Tahun Krisis dan Uji Batas Kekuasaan Presiden Amerika Serikat


Rabu, 31 Desember 2025 / 16:47 WIB
Trump 2025: Tahun Krisis dan Uji Batas Kekuasaan Presiden Amerika Serikat
ILUSTRASI. Bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tahun 2025 menjadi periode yang sarat krisis dan kontroversi. (REUTERS/Evelyn Hockstein)


Sumber: Al Jazeera | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - WASHINGTON, DC. Bagi Presiden Amerika Serikat Donald Trump, tahun 2025 menjadi periode yang sarat krisis dan kontroversi.

Kembali menjabat pada 20 Januari setelah kemenangan politik yang penuh gejolak, Trump langsung meluncurkan serangkaian kebijakan drastis yang memperluas penggunaan kekuasaan eksekutif, terutama melalui deklarasi keadaan darurat nasional.

Sejak hari pertama, Trump menggambarkan pemerintahannya bergerak cepat dan tegas. Ia menegaskan komitmen untuk memberantas apa yang disebutnya sebagai “invasi migran”, termasuk dengan memperketat jalur imigrasi legal dan bahkan membuka kemungkinan penargetan warga negara AS.

Di bidang perdagangan, Trump mendorong penataan ulang besar-besaran perjanjian dagang yang dinilainya timpang dan mengancam keamanan nasional.

Pada paruh akhir 2025, kebijakan itu meluas ke ranah militer. Trump memerintahkan operasi terhadap kelompok yang ia sebut sebagai “narkoteroris”, yang diklaim berupaya melemahkan Amerika Serikat melalui perdagangan narkotika ilegal, bahkan menyamakannya dengan “senjata pemusnah massal”.

Bagi para pengamat hukum, pendekatan ini menjadi ujian serius terhadap batas kekuasaan presiden, terutama melalui pemanfaatan undang-undang darurat yang ditafsirkan secara luas dan kewenangan eksekutif yang nyaris tanpa rem.

Baca Juga: Ini Lima Poin Penting dari Pertemuan Trump dan Netanyahu di Florida

Keputusan pengadilan, sikap Kongres, serta hasil pemilu sela (midterm) 2026 diperkirakan akan menentukan apakah strategi Trump akan dibatasi atau justru mendapat legitimasi lebih lanjut.

“Penggunaan atau penyalahgunaan kewenangan darurat hanyalah satu bagian dari gambaran yang lebih besar,” ujar Frank Bowman, profesor emeritus hukum Universitas Missouri.

“Dalam banyak kasus, pemerintahan ini melakukan hal-hal yang menurut pemahaman lama tentang kekuasaan eksekutif, seharusnya tidak boleh dilakukan.” katanya.

Kewenangan Darurat dan Dalih Keamanan Nasional

Berbeda dengan banyak negara lain, Konstitusi Amerika Serikat tidak memberikan kewenangan darurat umum kepada presiden. Mahkamah Agung AS pada 1952 bahkan menegaskan bahwa presiden tidak memiliki kekuasaan darurat implisit.

Namun demikian, menurut David Driesen, profesor emeritus Fakultas Hukum Universitas Syracuse, Kongres telah mengesahkan berbagai undang-undang yang memberikan kewenangan darurat terbatas dalam kondisi tertentu.

“Hampir setiap presiden modern menggunakan kewenangan darurat, tetapi biasanya dalam batas tertentu,” kata Driesen.

“Yang membedakan masa jabatan kedua Trump adalah minimnya peristiwa pemicu yang jelas,” ujarnya.

Baca Juga: Trump Marah, Kritik Ukraina atas Dugaan Serangan ke Kediaman Putin

Ia menambahkan, “Saya belum pernah melihat seorang presiden menggunakan kewenangan darurat untuk membenarkan hampir seluruh agenda kebijakannya. Bagi Trump, hampir semuanya dianggap sebagai keadaan darurat,” terangnya.

Nada kebijakan itu ditetapkan sejak hari pertama, ketika Trump mengeluarkan perintah eksekutif yang menyatakan penyeberangan ilegal di perbatasan selatan sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan Amerika Serikat.

Perintah tersebut digunakan untuk menangguhkan kewajiban suaka, mengerahkan pasukan tambahan ke perbatasan, serta menyita lahan federal.

Pada hari yang sama, Trump juga mendeklarasikan keadaan darurat nasional berdasarkan International Emergency Economic Powers Act (IEEPA) untuk menetapkan kelompok kriminal Tren de Aragua (TdA) dan MS-13 sebagai organisasi teroris asing. Langkah ini dijadikan dasar untuk mendorong deportasi massal serta membenarkan pendekatan militeristik terhadap Amerika Latin.

Selain itu, Trump menetapkan keadaan darurat energi nasional guna membuka jalan bagi pelonggaran regulasi lingkungan.

Menurut Bowman, penggunaan undang-undang darurat hanyalah satu sisi dari strategi Trump. Di sisi lain, ia juga menafsirkan kewenangan konstitusional presiden secara luas untuk merombak struktur pemerintahan, termasuk melemahkan lembaga independen, memisahkan aparatur sipil negara dari kementerian yang dibentuk Kongres, hingga mengubah nama institusi negara.

Meski demikian, deklarasi keadaan darurat tetap menjadi tulang punggung kebijakan Trump sepanjang 2025. Ia menggunakannya untuk menjatuhkan sanksi terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terkait penyelidikan dugaan kejahatan perang Israel di Gaza, serta untuk memberlakukan tarif terhadap Kanada, Meksiko, dan China dengan dalih darurat penyelundupan fentanil.

Pada April, Trump bahkan mengutip undang-undang darurat untuk memberlakukan tarif balasan secara luas terhadap hampir semua mitra dagang AS—langkah yang kini menjadi salah satu kebijakan paling dipersoalkan secara hukum.

Respons Kongres dan Pengadilan: Gambaran Campuran

Sepanjang 2025, Kongres yang kedua kamarnya dikuasai tipis Partai Republik nyaris tidak menunjukkan keinginan untuk membatasi langkah presiden. Sementara itu, pengadilan federal tingkat bawah memberikan respons yang beragam.

Mahkamah Agung AS sendiri belum memberikan kejelasan menyeluruh. Dari sembilan hakim, enam di antaranya dikenal memiliki kecenderungan pada teori eksekutif uniter, yang menekankan kuatnya konsolidasi kekuasaan presiden.

Baca Juga: Trump Sebut Perdamaian Ukraina–Rusia Kian Dekat, Negosiasi Masuk Tahap Akhir

“Trump jelas bersedia menyatakan keadaan darurat di situasi yang secara rasional sulit dipercaya,” ujar Bowman.

“Pengadilan tingkat bawah memang memberikan perlawanan, tetapi masih harus dilihat apakah Mahkamah Agung akan mendukung mereka,” tambahnya.

Sebagai contoh, Trump sementara diizinkan melanjutkan pengerahan Garda Nasional di Washington, DC, setelah mendeklarasikan “darurat kejahatan” pada Agustus. Namun, upaya serupa di California, Illinois, dan Oregon dibatasi oleh pengadilan.

Trump juga sempat menggulirkan wacana penggunaan Insurrection Act—undang-undang tahun 1792 yang memungkinkan pengerahan militer untuk penegakan hukum domestik—meski hingga kini belum mengaktifkannya.

Dalam isu deportasi, Mahkamah Agung memberikan lampu hijau terbatas bagi penggunaan Alien Enemies Act tahun 1798, meskipun tetap mensyaratkan perlindungan proses hukum minimal.

Salah satu putusan paling dinanti adalah soal legalitas tarif balasan Trump, yang akan diputus Mahkamah Agung saat kembali bersidang Januari mendatang.

Bayang-Bayang Perang dan Kebijakan Luar Negeri

Di ranah militer, Trump dinilai melanjutkan pola lama penyalahgunaan kewenangan presiden dalam keputusan perang. Menjelang akhir 2025, AS melancarkan serangan terhadap kapal-kapal yang dituding sebagai penyelundup narkoba dari Venezuela, langkah yang dikecam kelompok HAM sebagai pembunuhan di luar proses hukum.

Trump mengklaim tanpa bukti bahwa lebih dari 100 orang yang tewas berupaya menggoyahkan AS melalui perdagangan narkoba. Ia juga menuding pemerintah Venezuela di bawah Nicolas Maduro terlibat langsung.

Langkah ini dibarengi dengan perubahan simbolik, termasuk penamaan ulang Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang, serta pelabelan kartel narkoba Amerika Latin sebagai “narkoteroris”.

Menurut Matt Duss dari Center for International Policy, kebijakan ini mencerminkan kecenderungan lintas partai selama dua dekade terakhir dalam memperluas kekuasaan presiden untuk berperang tanpa persetujuan Kongres.

Baca Juga: Trump dan Netanyahu Bahas Fase Kedua Gencatan Senjata Gaza

Upaya anggota DPR untuk membatasi kewenangan perang Trump melalui resolusi kekuasaan perang pun kandas, mencerminkan kuatnya kendali Trump atas Partai Republik.

Opini Publik dan Ujian Pemilu Sela

Pengaruh Trump atas Partai Republik dan lanskap politik AS akan diuji dalam pemilu sela 2026 yang menentukan kendali Kongres.

Sejumlah jajak pendapat menunjukkan meningkatnya kekhawatiran publik. Survei Quinnipiac pada Desember menemukan 54% pemilih menilai Trump melampaui batas kewenangannya, sementara hanya 37% yang menilai ia menjalankan peran dengan tepat.

Meski demikian, para analis menilai belum jelas apakah pemilih lebih mempermasalahkan metode Trump atau justru hasil kebijakannya.

“Apakah masyarakat benar-benar memikirkan dasar teoritis dari apa yang dilakukan Trump?” ujar Bowman. “Dan apakah mereka akan peduli jika hasil jangka pendeknya sesuai dengan keinginan mereka?”

Jawaban atas pertanyaan itu, menurut Bowman, masih menjadi tanda tanya besar—dan masa depan keseimbangan kekuasaan di Amerika Serikat akan sangat ditentukan oleh respons publik dalam waktu dekat.

Selanjutnya: Kontribusi REI Bantu Korban Bencana Sumatera

Menarik Dibaca: Ramalan 12 Zodiak Keuangan dan Karier Besok Kamis 1 Januari 2026, Awal Tahun Baru




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×