Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - TOKYO. Aktivitas sektor jasa negara-negara ekonomi utama di kawasan Asia mengalami pelemahan pada bulan Juni 2024. Bahkan ada yang sudah mulai mengalami kontraksi. Pelemahan ini menunjukkan bisnis mengalami penurunan.
Jepang, misalnya, mengalami kontraksi aktivitas jasa pada Juni 2024. Ini merupakan kontraksi pertama dalam hampir dua tahun terakhir. Penyebabnya, karena penurunan permintaan tenaga kerja dari domestik.
Melansir Reuters, Rabu (3/6), Indeks manajer pembelian (PMI) atau Jibun Bank Service turun menjadi 49,4 pada bulan Juni dari 53,8 pada Mei, menurut survei S&P Global Market Intelligence. Data Juni menandakan ekspansi selama 21 bulan berturut-turut sudah terhenti.
Baca Juga: Harga Minyak Tergelincir Usai Data Menunjukkan Pelemahan Ekonomi AS
Permintaan terhadap jasa layanan konsumen, keuangan dan asuransi, serta layanan real estate menurun. Tapi, permintaan untuk sektor transportasi, penyimpanan, serta informasi dan komunikasi mengalami peningkatan.
Permintaan dari luar negeri tercatat juga masih naik. Pelemahan yen yang sudah lebih dari 12% sepanjang tahun ini, menopang permintaan luar negeri terhadap jasa Jepang.
Trevor Balchin, Direktur Ekonomi S&P Global Market Intelligence, mengatakan pelemahan ekspansi pada bulan Juni menandakan adanya penurunan bisnis baru. Namun, ia mengatakan data penurunan tidak terlalu mengkhawatirkan. Pasalnya, “Indikator kepercayaan bisnis dan perekrutan tenaga kerja tetap dalam mode optimis,” ujarnya.
Sementara, China mengalami perlambatan aktivitas jasa pada Juni karena pasar kerja menyusut dan optimisme bisnis yang melemah. Laju ekspansinya terendah dalam delapan bulan.
Baca Juga: Pasar Menanti Data Ekonomi Amerika, Simak Proyeksi IHSG Hari Ini
Indeks manajer pembelian (PMI) jasa Global Caixin/S&P pada Juni bulan turun menjadi 51,2 dari 54,0 pada Mei. Survei tersebut, yang mencakup sebagian besar perusahaan swasta dan berorientasi ekspor.
China melaporkan pertumbuhan yang tak merata dalam beberapa bulan terakhir. Ini memperkuat seruan agar stimulus kebijakan lebih banyak guna mencapai target pertumbuhan ekonomi 5%.