Sumber: DW.com | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - DW. Anabel Hernandez menjadi perempuan pertama yang mendapat penghargaan DW Freedom of Speech Award, penghargaan yang diprakarsai oleh Deutsche Welle sejak lima tahun terakhir. Dia memulai karirnya sebagai jurnalis tahun 1993. Sejak masa mahasiswa, dia sudah bergabung dengan harian Reforma. Pada tahun-tahun berikutnya Anabel Hernández makin dikenal sebagai jurnalis investigatif. Dia sering menulis tentang kasus-kasus korupsi di kalangan pemerintahan, kekerasan seksual dan sindikat narkoba di negaranya.
Fakta-fakta yang digalinya, termasuk tentang kegiatan sindikat narkoba, kemudian dibukukan. Kegiatan Anabel Hernandez membuat dia juga menjadi sasaran kartel narkoba, sehingga dia harus meninggalkan negaranya dan kini hidup di Eropa. Dia mendapat banyak ancaman pembunuhan dan harus memboyong keluarganya keluar dari Meksiko.
"Pada masa-masa dramatis dalam sejarah Meksiko ini, kebisuan telah membunuh lelaki, perempuan dan anak-anak Meksiko, para tokoh masyarakat sipil dan pejuang hak asasi manusia, wakil-wakil pemerintah dan para jurnalis, kata Anabel Hernandez tahun 2012 ketika menerima penghargaan "Golden Pen of Freedom Award" dari asosiasi internasional penerbit buku dan suratkabar WAN-IFRA. Dia menambahkan: "Tetapi memecah kebisuan juga bisa berarti menantang maut."
Ancaman pembunuhan dan impunitas
Anabel Hernández tahu betul resiko yang dihadapi masyarakat Meksiko sehubungan dengan tingginya tingkat kriminalitas di negaranya. Ayahnya, yang tidak ingin dia menjadi jurnalis, dibunuh tahun 2000 di Mexico City. Hingga kini polisi belum berhasil mengungkap siapa pembunuhnya. Tapi peristiwa itu justru memicu tekadnya menjadi jurnalis.
Anabel Hernández tahu betul resiko yang dihadapi masyarakat Meksiko sehubungan dengan tingginya tingkat kriminalitas di negaranya. Ayahnya, yang tidak ingin dia menjadi jurnalis, dibunuh tahun 2000 di Mexico City. Hingga kini polisi belum berhasil mengungkap siapa pembunuhnya. Tapi peristiwa itu justru memicu tekadnya menjadi jurnalis.
Tetapi Anabel Hernandez pantang menyerah. Dia melanjutkan investigasinya secara diam-diam. Tahun 2003 dia menerima penghargaan dari UNICEF untuk laporan-laporannya mengenai perbudakan dan pelecehan seksual yang dialami anak-anak perempuan Meksiko di kota San Diego di Kalifornia, AS.
Perang narkoba di Meksiko
Setelah melakukan penyelidikan selama lima tahun, Anabel Hernandez tahun 2010 menerbitkan buku Los Señores del Narco (tahun 2013 terbit versi bahasa Inggrisnya Narcoland: The Mexican Drug Lords And Their Godfathers). Buku itu tidak hanya mengungkap para aktor dibalik sindikat narkoba, melainkan juga mengungkap jaringan sistem penyebaran narkotika yang melibatkan politisi, anggota militer dan para pelaku kalangan bisnis.
Pemaparan kasus-kasus korupsi secara rinci dalam buku ini membuat penulisnya menerima banyak ancaman pembunuhan. Dia akhirnya mendapat perlindungan selama 24 jam. "Fakta yang menyedihkan adalah: Ancaman ini datang dari kalangan pemerintah dan politisi yang berpengaruh", kata Hernandez.
Dia juga menyelidiki kasus hilangnya 43 pelajar di kota Iguala. Tahun 2016 dia membukukan hasil penyelidikannya dalam buku berjudul La verdadera noche de Iguala. Tahun 2018 diterbitkan dalam versi bahasa Inggris dengan judul: A Massacre in Mexico: The True Story Behind the Missing Forty-Three Students.
Buku ini mengungkap secara detail peristiwa pembunuhan massal para pelajar yang dilakukan oleh sebuah komplotan yang terdiri dari para birokrat dan anggota militer yang korup, didukung oleh geng narkoba. Para pelajar itu dibunuh ketika sedang menuju ke Mexico City untuk ikut dalam sebuah aksi protes.
Penerbitan buku itu membuat ancaman terhadap penulis dan keluarganya makin besar lagi. Anabel Hernandez akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Meksiko. Dia pergi dan menetap di AS dan mendalami jurnalisme investigasi di University of California di Berkeley tahun 2014 sampai 2016.