Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie, Dendi Siswanto | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - KUALA LUMPUR. Negara-negara di Asia saat ini memutar otak dalam mengambil langkah-langkah untuk mengatasi inflasi yang melonjak. Lonjakan inflasi dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina, yang pada akhirnya memiliki efek domino pada rantai pasokan yang sudah terganggu di tengah pandemi.
Malaysia
Melansir Straits Times, di Malaysia, di mana inflasi makanan berada pada level 5,% yang tertinggi dalam 11 tahun, Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob mengatakan pada hari Minggu (3/7/2022) bahwa pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kenaikan biaya hidup.
Pemerintah akan menghabiskan RM 70 miliar untuk subsidi tahun ini - paket dukungan tertinggi negara itu dalam sejarah - untuk meredam lonjakan biaya bensin, solar, bahan bakar gas cair, minyak goreng, tepung dan listrik.
Lebih dari RM 700 juta telah dialokasikan untuk mempertahankan batas harga ayam RM 9,40 per kg. Sementara subsidi minyak goreng mencapai RM 4 miliar hampir dua kali lipat RM 2,2 miliar tahun lalu.
Menyusul pemberian uang tunai yang kedua kepada rumah tangga berpenghasilan rendah, PM Ismail pada hari Minggu mengindikasikan kemungkinan ada program yang ketiga.
Baca Juga: Inflasi Global Berpotensi Melonjak di Akhir 2022, Sektor Manufaktur Bisa Tertekan
Thailand
Inflasi Thailand berada pada level tertinggi dalam 14 tahun, setelah melewati angka 7% di bulan Mei.
Dewan Keamanan Nasional (NSC) Thailand diperkirakan akan membentuk tim ahli khusus untuk mengatasi krisis bahan bakar dan pangan negara itu ketika bertemu pada hari Senin.
Sekjen NSC Supot Malaniyom mengatakan tim dan instansi terkait akan menangani krisis dalam tiga tahap hingga akhir tahun depan. Ini akan memiliki fokus khusus pada kenaikan harga bahan bakar, yang mempengaruhi sektor transportasi dan inflasi yang memburuk.
"NSC akan fokus pada stabilitas untuk mencegah kelangkaan," katanya, menurut situs berita The Nation.
Menteri Keuangan Arkhom Termpittayapaisith mengatakan Sabtu lalu bahwa pemerintah akan mengupayakan kenaikan upah bagi karyawan sektor swasta untuk membantu mereka mengatasi kenaikan biaya.
Arkhom mengatakan inflasi Thailand akan tetap tinggi untuk sisa tahun ini.
Baca Juga: Ekonomi Amerika Serikat Suram, Bursa Masih Terus Tertekan
"Ekonomi Thailand menderita dampak tidak hanya dari Covid-19 tetapi juga inflasi tinggi akibat perang Ukraina. Inflasi tahun ini tidak mungkin turun ke tingkat yang terlihat bertahun-tahun yang lalu."
Bank of Thailand diperkirakan akan menaikkan suku bunga kebijakannya, yang saat ini 0,5%, bulan depan.
Korea Selatan
Di Korea Selatan, pemerintah menaikkan tarif 22,5% hingga 25% untuk 50.000 ton daging babi impor mulai Kamis lalu.
Langkah ini diatur untuk menurunkan biaya produksi daging babi sebanyak 20%.
Harga rata-rata daging babi naik hampir 15% bulan lalu menjadi 2.911 won (S$ 3,10) per 100 gram, menurut data dari Institut Evaluasi Kualitas Produk Hewan Korea.
Pengamat industri mengatakan lonjakan harga daging babi didorong oleh invasi Rusia ke Ukraina, serta inflasi.
"Jagung memakan setengah dari pakan yang digunakan untuk babi. Tetapi perang antara kedua negara, dua pemasok gandum dan jagung terbesar, telah menyebabkan kekurangan biji-bijian, yang mengakibatkan harga tanaman hijauan yang lebih tinggi," kata seorang pejabat dari Asosiasi Babi Korea.
Tarif juga dinaikkan pada enam komoditas lainnya, termasuk minyak bunga matahari dan gandum, hingga akhir tahun, dan daftar makanan olahan sederhana seperti kimchi dibebaskan dari pajak pertambahan nilai.
Bank sentral Korea Selatan menaikkan suku bunga menjadi 1,75% pada Mei untuk mengurangi inflasi dari level tertinggi 14 tahun.
Baca Juga: Perkembangan Ekonomi Domestik Dapat Topang Kinerja Industri Otomotif
Inflasi konsumen di bulan Mei naik menjadi 5,4%, dengan tingkat bulan lalu diperkirakan akan melampaui 6%.
Jepang
Di Jepang, inflasi melonjak 2,1% YoY di bulan Mei, setelah menunjukkan kenaikan yang sama di bulan sebelumnya. Lonjakan tersebut merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun.
Perdana Menteri Fumio Kishida mengatakan pemerintah berencana untuk mengurangi dampak kenaikan harga listrik dengan memberikan poin rumah tangga hemat listrik yang dapat membantu menurunkan tagihan listrik.
Satuan tugas pemerintah bertemu untuk pertama kalinya bulan lalu untuk mengatasi inflasi.
Tindakan darurat senilai 13 triliun yen (S$134,2 miliar), yang sebagian didanai oleh sektor swasta, akan diterapkan untuk mengatasi kenaikan harga gandum, pupuk, pakan ternak, dan energi.
Baca Juga: Kondisi Pasar Diprediksi Volatile, Begini Strategi MI Jaga Kinerja Reksadana Saham
Dengan jajak pendapat baru-baru ini yang menunjukkan mayoritas masyarakat tidak senang dengan tanggapan pemerintah terhadap kenaikan harga, pengendalian biaya hidup diperkirakan akan menjadi isu utama dalam pemilihan Majelis Tinggi pada 10 Juli.
Kishida mengatakan pemerintah juga menargetkan untuk meningkatkan upah minimum rata-rata setidaknya 1.000 yen per jam selama tahun fiskal berjalan hingga Maret.
Bangladesh
Di Bangladesh, harga beras halus naik 9% bulan lalu karena banjir dan cuaca buruk di beberapa bagian negara itu mempengaruhi hasil panen.
Pemerintah telah memberikan izin kepada 95 perusahaan makanan untuk mengimpor 409.000 ton beras pada pertengahan Agustus untuk menurunkan harga.
Bea masuk beras antara 22 Juni dan 31 Oktober akan dipotong dari 62,5% menjadi 25,75%.
Pakistan
Di Pakistan, inflasi yang diukur dengan indeks harga konsumen naik menjadi 21,3% bulan lalu, tertinggi dalam lebih dari 13 tahun.
Bahan bakar motor, hidrokarbon cair dan biaya listrik mengalami peningkatan besar dari tahun ke tahun, dengan harga bahan bakar motor naik setidaknya 95%.
Harga bahan bakar naik lebih lanjut Kamis lalu, dengan pemerintah memberlakukan retribusi minyak untuk mengurangi defisit fiskal.
Dipediksi, bank sentral Pakistan akan memberlakukan kebijakan kenaikan suku bunga untuk menangkal inflasi.
Bank Negara Pakistan telah menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 400 basis poin tahun ini.
Baca Juga: Inflasi Juni 2022 Capai 4,35%, Didorong Kenaikan Harga Cabai Rawit dan Bawang Merah
Bagaimana dengan Indonesia?
Melansir Kontan.co.id, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan bahwa inflasi Indonesia pada Juni 2022 yang tercatat 4,35% masih tergolong moderat ketimbang negara lain.
Meskipun inflasi pada bulan Juni 2022 ini merupakan yang tertinggi sejak Juni 2017, yang mana pada waktu itu berada di level 4,37% year on year (yoy).
"Dibandingkan dengan banyak negara di dunia, inflasi Indonesia masih tergolong moderat. Laju inflasi di AS dan Uni Eropa terus mencatatkan rekor baru dalam 40 tahun terakhir, masing-masing mencapai 8,6% dan 8,8%," ujar Febrio dalam keterangan resminya, Sabtu (2/7).
Demikian juga di sejumlah negara berkembang, seperti Argentina dan Turki dengan laju inflasi masing-masing mencapai 73,5%.
Febrio mengatakan, melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah berhasil meredam tingginya tekanan inflasi global, sehingga daya beli masyarakat serta momentum pemulihan ekonomi nasional masih tetap dapat dijaga.
Meskipun demikian, ia menyebut, pemerintah akan terus memantau dan memitigasi berbagai faktor yang akan berpengaruh pada inflasi nasional, baik yang berasal dari eksternal maupun domestik.
"Inflasi Juni mengalami peningkatan yang terutama disebabkan oleh kenaikan harga pangan bergejolak (volatile food) yang signifikan mencapai 10,07% secara year on year (Mei 6,05%," katanya.
Peningkatan harga komoditas pangan meliputi cabai merah, cabai rawit, dan bawang merah akibat curah hujan tinggi di wilayah sentra sehingga menimbulkan gagal panen dan terganggunya distribusi.
Di sisi lain, harga minyak goreng mulai turun seiring melandainya harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Menurutnya, perkembangan harga pangan akibat risiko cuaca dan tekanan harga perlu diwaspadai karena resktriksi eksppr di beberapa negara produsen pangan.
"Pangan sangat penting bagi masyarakat sehingga Pemerintah akan terus mengantisipasi dan memitigasi risiko dari kenaikan harga kelompok pangan bergejolak melalui berbagai kebijakan untuk menjamin kecukupan pasokan dan keterjangkauan harga pangan bagi masyarakat," tambahnya.
Dalam rangka mengantisipasi kenaikan harga komoditas pangan, pemerintah secara konsisten berupaya menjaga agar peran APBN sebagai shock absorber dapat berfungsi optimal untuk mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat serta menjaga agar pemulihan ekonomi semakin menguat.