CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.470.000   4.000   0,27%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Bakal Jadi Presiden China Lagi, Ini Tantangan Xi Jinping


Selasa, 11 Oktober 2022 / 15:51 WIB
Bakal Jadi Presiden China Lagi, Ini Tantangan Xi Jinping
ILUSTRASI. Xi Jinping berpeluang tetap akan jadi Presiden China dalam lima tahun ke depan.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - BEIJING. Xi Jinping berpeluang tetap akan jadi Presiden China dalam lima tahun ke depan. Partai Komunis China akan menggelar kongres lima tahunan yang dimulai pada 16 Oktober 2022 dengan agenda utama mengesahkan Xi menduduki masa jabatan ketiga sebagai sekretaris jenderal, posisi paling senior di Tiongkok.

Biasanya posisi tertinggi China ini hanya bisa dijabat dua periode. Namun Xi dengan kekuatan pengaruhnya diperkirakan bisa mengubah ketentuan itu dan menjadi pemimpin tertinggi selama 3 periode setidaknya hingga 2027. Rumusan kebijakan yang akan ditetapkan dalam kongres itu akan menentukan sebesar cepat China bisa mengungguli ekonomi Amerika Serikat (AS).

Chang Shu dan Eric Zhu, analis Bloomberg Economics, telah membuat sketsa empat skenario untuk ekonomi China selama beberapa dekade ke depan, dengan dasar rata-rata pertumbuhan ekonomi diproyeksikan 4,6% selama dekade berikutnya.

Dari model itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi di atas 5% yang ditetapkan sebelum pandemi tidak akan mungkin bisa dicapai karena kebijakan Zero Covid-19 yang terlalu panjang dan menyusutnya tingkat investasi terutama di sektor properti.

Baca Juga: Ekonomi China Dirundung Masalah Pelik, Apa Saja Penyebabnya?

Jika industri properti turun lebih dalam dari yang diperkirakan  dan kebijakan Zero Covid-19 tetap dilanjutkan hingga melampaui tahun 2023 maka rata-rata pertumbuhan PDB China bahkan diperkirakan kemungkinan di bawah 4%  selama dekade berikutnya. Itu artinya, China kemungkinan tidak akan bisa menyalip AS hingga pertengahan tahun 2030-an.

Namun, jika dua masalah tadi bisa dihilangkan, China terus berinvestasi di bidang manufaktur dan tenaga kerja terdidiknya terus meningkatkan produktivitasnya maka tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 5% bisa dengan mudah dicapai, sehingga lebih cepat mendaki menjadi negara sebagai ekonomi terbesar di dunia.

Kalau melihat rekam jejak panjang Xi Jinping, itu bukan hal yang tak mungkin bisa ia lakukan. Ekonomi China telah tumbuh dua kali lipat sejak 2010.

Sejak Xi menjabat sebagai presiden pada 2012, para ekonom mempertanyakan apakah China bisa terperangkap dalam jebakan pendapatan kelas menengah. Namun, pendapatan per kapita China nyatanya berhasil melampaui negara-negara berpenghasilan menengah dan mencapai status berpenghasilan tinggi berdasarkan defenisi dari Bank Dunia.

Namun, reformasi tidak akan mudah. Bloomberg menilai, Xi perlu menaikkan usia pensiun, meningkatkan pajak pada orang kaya untuk mendanai layanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik, serta bisa mengatasi penolakan dari pemerintah daerah untuk memberi layanan publik pada migran dari bagian lain Tiongkok.

Sektor keuangan juga perlu dibangkitkan untuk memastikan pembiayaan disalurkan pada perusahaan paling produktif dan perusahaan swasta yang memperkerjakan banyak karyawan harus diizinkan bersaing secara bebas dengan perusahaan BUMN.

Skenario pertama, kasus dasar dimana ekonomi tumbuh 4%-5% satu dekade ke depan. Kebijakan Zero Covid-19 telah memukul ekonomi China sehingga sejumlah ekonom menurunkan proyeksi PDB negara ini jadi di bahwa 3% untuk tahun ini.

Bloomberg memprediksi akan sulit terjadi perbaikan signifikan jika aturan itu tidak dilonggarkan. Proyeksi pertumbuhan 4%-5% hanya dengan asumsi kebijakan Covid-19 mulai dilonggarkan secara bertahap pada kuartal II 2023. Pejabat pemerintah China  sebelumnya mengatakan kebijakan itu dapat dilonggarkan jika sudah ada alat medis yang cukup dan tersedia vaksin generasi kedua.

Sementara usia pensiun China saat ini adalah 50 tahun-60 tahun tergantung jenis kelamin dan profesi. Jika ini dinaikkan secara bertahan jadi 65 tahun selama satu dekade ke depan maka tenaga kerja bisa tetap stabil sekitar 760 juta.

Untuk menjadikan negara lebih kaya, tenaga kerja terampil menjadi kunci produktivitas. Di tengah penurunan populasi yang menjulang, ada sentimen positif bagi China karena negara ini akan punya pendatang baru dari angkatan kerja jauh lebih berpendidikan. China akan menghasilkan lebih dari 10 juta lulusan perguruan tinggi tahun ini, hampir dua kali lipat jumlah satu dekade lalu.

Perusahaan sektor swasta China umumnya lebih produktif daripada BUMN. Xi selama ini hanya mendukung BUMN di sektor-sektor yang dia anggap strategis bagi ekonomi dan membiarakan BUMN sektor non-strategis bangkrut pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Margit Molnar, Kepala Bagian Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Tiongkok, menghilangkan mayoritas kepemilikan negara di sektor non-strategis seperti hotel, katering, ritel dan grosir akan meningkatkan PDB per kapita jangka panjang sebesar 1,3%. “Ada begitu banyak bidang di mana reformasi dapat mendorong produktivitas,” ujarnya.

Skenario kedua, pertumbuhan ekonomi di bawah 4%. Ini dengan asumsi kebijakan Zeto Covid-19 yang ketat masih berlanjut hingga hingga 2024, terjadi penolakan terhadap reformasi usia pensiun, terjadi kesalahan penanganan perlambatan pasar properti sehingga perlambatan investasi akan lebih tajam, serta adanya sanksi dari AS ke China seperti yang diberlakukan pada Rusia.

Skenario ketiga yakni pertumbuhan di bawah 3%.  Prioritas utama Xi selama lima tahun terakhir adalah upaya untuk mengurangi kemungkinan krisis keuangan dengan menghentikan shadow banking dan memperlambat pertumbuhan utang. Tetapi masih banyak kredit bermasalah dalam sistem perbankan dan harga perumahan jatuh dan terlalu banyak bank atau pemerintah daerah membutuhkan dana talangan, pertumbuhan bisa lebih lambat lagi.

Hal-hal bisa menjadi lebih buruk jika sekutu AS bergabung dalam upaya pemisahan. Output China bisa sampai 8% lebih kecil pada tahun 2030 jika ada pemisahan yang kuat dari ekonomi OECD versus skenario tanpa pemisahan, menurut analisis Dana Moneter Internasional. Pandemi atau cuaca ekstrem terkait perubahan iklim lainnya dapat merusak perekonomian secara parah, serta bentrokan atas Taiwan juga akan menjadi bencana.

Skenario keempat, pertumbuhan di atas 5%. Ini bisa tercapai jika kebijakan Zero Covid-19 segera dilonggarkan, menaikkan usia pensiun pada tahun 2025 dan melonggarkan pembatasan tempat tinggal kota besar.

Baca Juga: Kisah Xi Jinping Muda: Pernah Dikirim ke Pedesaan dan Kerja Paksa di Desa Terpencil



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×