Sumber: South China Morning Post | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - HONG KONG. China telah berjanji untuk melakukan serangan balik setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump meningkatkan tarif barang-barang asal Tiongkok senilai US$ 200 miliar. Langkah ini semakin meningkatkan ketidakpastian tentang ketegangan perdagangan antara kedua negara.
Tak pelak, kondisi ini memantik kekhawatiran di kalangan investor dan analis atas skenario terburuk yang akan makin membebani pertumbuhan ekonomi global.
Diberitakan South China Morning Post, sejumlah analis menilai jika China tidak mau mengikuti persyaratan Trump, Beijing tidak hanya bisa membalas dengan mengenakan tarif terhadap produk dari AS. Tetapi juga memiliki berbagai kekuatan finansial untuk menghukum Trump.
Sebagai permulaan, China bisa membalas dengan melepas kepemilikan yang besar dari surat utang pemerintah AS. Tiongkok bisa membanjiri pasar dengan surat utang sehingga akan menekan harga obligasi AS dan menyebabkan imbal hasilnya merangkak naik.
Hal itu akan membuat perusahaan dan konsumen AS menanggung biaya yang lebih mahal untuk mendapatkan pinjaman. Lalu pada gilirannya akan menekan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat.
Namun Cliff Tan, kepala peneliti pasar global Asia Timur di MUFG Bank mengatakan China tidak mungkin akan mengurangi kepemilikannya atas surat utang AS secara tajam. Pasalnya hal itu akan merugikan kepentingannya sendiri dan memicu volatilitas pasar secara ekstrim.
"Melepas surat utang akan menjadi senjata yang tidak efektif bagi China. Jika China keluar sepenuhnya dari aset dengan mata uang dolar AS, itu akan sangat berisiko bagi mereka karena volatilitas pasar yang ekstrem," papar Tan.
Sementara itu China juga membutuhkan aset dalam bentuk dolar AS sebagai penyangga untuk menyelamatkan sistem perbankan domestik atau mendukung yuan melalui intervensi valuta asing.
Meskipun telah memangkas kepemilikannya dalam obligasi AS dalam beberapa tahun terakhir, namun kepemilikan China masih mengambil tempat teratas di antara kreditor asing yakni sebesar US$ 1,12 triliun, diikuti oleh Jepang dengan US$ 1,04 triliun.
Namun, jumlah surat utang yang dipegang China hanya sekitar 5% dari total utang AS yang sebesar US$ 22 triliun. Dari total angka itu, lebih dari US$ 5 triliun sebenarnya dipegang oleh pemerintah federal dalam dana perwalian yang didedikasikan untuk jaminan sosial.
Sebagian besar sisa utang dimiliki oleh investor individu, korporasi dan entitas publik lainnya, termasuk pemerintah China.
Meskipun US$ 1,12 triliun bukanlah angka yang kecil, namun hanya menyumbang sekitar 5% dari utang nasional AS dan masih harus dilihat apakah pengurasan kepemilikan China akan mengarah pada hasil yang efektif.
“Membuang harta tidak mungkin menjadi langkah efektif untuk negosiasi perang dagang. Tiongkok tidak mungkin menemukan opsi investasi alternatif mengingat negara itu memiliki begitu banyak kas,” kata Betty Rui Wang, ekonom senior China di ANZ Bank.
Di sisi lain, akibat aksi Trump, pasar saham China dan yuan ikut tertekan pada minggu ini. Benchmark Shanghai Composite Index menyentuh level terendah dalam 10 minggu, sementara yuan menuju penurunan mingguan terbesar sejak pertengahan 2018.
Beberapa menit setelah AS menaikkan tarif dari 10% menjadi 25% pada hari Jumat, Kementerian Perdagangan AS menegaskan kembali sikap kerasnya dalam perang dagang dengan mengatakan bahwa mereka tidak akan punya pilihan selain mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan.