Sumber: Bloomberg | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - Kepala BHP Group Australia mengatakan negara itu tidak dapat bergantung pada pasar ekspor pertambangan tradisionalnya dan tidak siap menghadapi era baru pesaing berbiaya rendah.
“Ledakan permintaan dari industrialisasi Tiongkok kini melewati periode pertumbuhan agresif," kata Presiden BHP Australia Geraldine Slattery dalam pidatonya di Brisbane seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (18/11).
Salah satu perusahaan tambang besar di dunia ini mengakui bahwa permintaan baja Tiongkok sedang melandai. Disisi lain, komoditas seperti nikel yang merupakan kunci transisi energi yang dibutuhkan dalam kendaraan listrik sedang diburu oleh berbagai negara.
Harga nikel berada pada sekitar setengah dari level harga pada akhir tahun 2022, berkat membanjirnya pasokan dari Indonesia, tempat perusahaan-perusahaan Tiongkok telah berinvestasi besar-besaran dalam fasilitas pemrosesan atau smelter.
Baca Juga: Aral Melintang Gerus Komposisi China di Smelter Nikel Indonesia Demi Tembus Pasar AS
“Di dunia yang terus berubah ini, ada banyak pesaing yang agresif dalam mengejar pangsa pasar dan teknologi yang membuka biaya pasokan yang lebih rendah,” cetus Slattery.
Mengutip Bloomberg, Senin (18/11) pukul 12.25 wib, harga nikel di London Metal Exchange (LME) mencatatkan rekor terendahnya pada US$ 15.540 per ton. Padahal pada Juli 2022, harga nikel sempat menyentuh US$ 48.078 per ton.
“Bagi BHP, hal ini mengakibatkan keputusan yang sulit tetapi perlu untuk menghentikan sementara operasi Western Australia Nickel kami,” imbuhnya.
Slattery bilang para pembuat kebijakan di Australia perlu memastikan daya saing jangka panjang atau berisiko kalah dari negara-negara dengan rezim royalti yang lebih rendah dan biaya penambangan yang lebih rendah. , kata Slattery.
Komentarnya ini disampaikan saat perseroan tengah mendapat tekanan dari serikat pekerja yang menuntut kenaikan gaji bagi pekerja Australia dan perubahan royalti batu bara di negara bagian Queensland berdampak pada pendapatan.