Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Yudho Winarto
BEIJING. China mencetak rekor penurunan tertinggi cadangan devisa pada bulan Agustus 2015. Ini setelah Bank Sentral China getol masuk pasar untuk menyokong yuan, pasca devaluasi atawa pemangkasan nilai tukar mata uang Negeri Tembok Besar tersebut.
Catatan Bloomberg, Kamis (7/9), menunjukkan, cadangan devisa China terpangkas sebesar US$ 93,9 miliar pada Agustus 2015 ke level US$ 3,65 triliun.
Asal tahu saja, penurunan cadangan devisa yang sedemikian tinggi ini jauh dari prediksi banyak analis. Sebab, survei Bloomberg terhadap sejumlah analis memprediksi posisi cadangan devisa China di level US$ 3,58 triliun.
Besarnya penurunan cadangan devisa tersebut menggambarkan betapa besar ongkos yang harus dibayar People's Bank of China (POBC) atau Bank Sentral China untuk membendung arus keluar (capital outflow) dana asing.
Sebab, jika aliran dana asing dibiarkan keluar dalam jumlah yang sangat signifikan, maka akan memperparah perlambatan ekonomi dalam negeri China. Namun, "Jika bank sentral terus melakukan intervensi, maka cadangan devisa China akan terus menurun," tutur Li Miaoxian, analis BoCom International Holdings, seperti dikutip Bloomberg.
Li Miaoxian memprediksi, aksi capital outflow masih akan berlangsung. Alhasil, tekanan terhadap nilai tukar yuan juga belum akan surut dalam beberapa bulan mendatang.
Pengumuman penurunan cadangan devisa China sontak mendapat apresiasi negatif dari pelaku pasar. Nilai tukar yuan pada perdagangan dipasar Hong Kong merosot 0,2% ke posisi 6,4795 yuan per dollar AS.
China tetap untung
Depresiasi yuan juga menjadi perbincangan negara-negara perserta G-20 yang berlangsung di Ankara, Turki, akhir pekan lalu. Penurunan kurs yuan jelas-jelas akan melemahkan daya saing produk-produk negara lain terhadap produk asal China.
Di sisi lain, Pemerintah China tetap meyakinkan investor, bahwa kondisi fundamental dalam negeri China tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sehingga tidak ada alasan untuk memprediksi tekanan terhadap yuan akan berlangsung lama.
China memang sejak satu dekade terakhir telah meningkatkan cadangan devisa dalam bentuk dollar AS sebanyak tiga kali lipat. Hal ini ditempuh untuk membendung penguatan nilai tukar yuan, terhadap apresiasi atas pertumbuhan surplus perdagangan China tumbuh pesat.
Saat ini, POBC memiliki hingga sepertiga dari cadangan devisa dunia dalam bentuk dollar AS. Apalagi sinyal kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS alias The Federal Reserve (The Fed) kian menarik minat pembelian dollar oleh investor asal China.
Arus keluar dana asing alias outflow dari China juga membawa kekhawatiran pengamat. Semisal Tom Orlik dan Fielding Chen, keduanya ekonom Bloomberg, yang menyatakan bahwa capital outflow dari China bisa merangsang sebagian investor lain untuk menjual yuan karena menilai langkah ini adalah yang paling aman alias mengikuti tren pasar.
Sebagian analis mencoba menenangkan pasar. "Devisa China masih besar, lebih dari yang dibutuhkan. Sehingga belum menjadi ancaman bagi stabilitas mata uang," kata Dariusz Kowalczyk, ekonom Credit Agricole CIB.