Sumber: Bloomberg |
SINGAPURA. Aberdeen Asset Management Plc. mengatakan, China sebaiknya memburu yuan yang lebih kuat untuk menyokong pengeluaran oleh para konsumennya. Pasalnya, pasar ekspor mereka terjungkal.
Menurut Peter Elston, Strategist untuk Aberdeen Asset yang berbasiskan di Singapura, nilai mata uang China kini berada 30% undervalued lantaran sejumlah kebijakan. Dengan yuan yang semakin kita, maka akan menguntungkan perekonomian China. Negeri Panda ini bahkan bakalan bisa menyandarkan perekonomiannya pada permintaan domestik untuk pertumbuhannya selama masa resesi global ini.
“Reaksi alami China ialah ingin menyokong ekspornya, namun di sisi lain penguatan nilai mata uang China bisa meningkatkan daya beli masyarakat,” tukas Elston. Menurutnya, China jelas-jelas sudah tercebur ke kubang resesi.
Menteri Keuangan AS Timothy Geithner minggu lalu menyatakan bahwa China harus lebih agresif menyurung pertumbuhan ekeonominya berbarengan dengan gelontoran paket stimulus yang digulirkan oleh pemerintah AS.
Asal tahu saja, pertumbuhan ekonomi China hanya tumbuh 6,8% pada kuartal keempat tahun lalu, dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Pada kuartal ketiga, pertumbuhan ekonomi negeri Tirai Bambu itu tumbuh 9%. Pada bulan Desember lah ekspor China rontok paling besar sepanjang satu dekade.
"Ekonomi China tumbuh dengan percaya diri, namun tidak ada yang memberikan kepercayaan yang lebih besar pada orang-orang bahwa mereka memiliki mata uang yuan yang cukup kuat," kata Ekston.
Ia percaya, China cukup cerdas untuk menyadari bahwa permainan ekspor mereka sudah berakhir. Meskipun jika nilai tukar mata yang mereka melemah 10%, itu tak akan banyak membantu perekonomian mereka. "Ini bukan soal nilai, tetapi permintaan," imbuhnya.
Minggu lalu, Departemen Perdagangan China menolak tudingan AS bahwa mereka telah memanipulasi mata uang mereka untuk mempromosikan penjualan ke seluruh dunia.
"China masih bisa lebih agresif untuk mengapresiasi nilai tukar mata uang mereka," tandas Elston.