Sumber: Bloomberg | Editor: Hendra Gunawan
BEIJING. Setelah vakum enam tahun, China membuka lagi penjualan efek beragun aset (EBA) Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Upaya pemerintah untuk memeriahkan pasar properti ini langsung disambut Postal Saving Bank of China Co, yang akan menjual efek beragun kredit perumahan senilai 6,8 miliar yuan atau setara Rp 12,73 triliun.
Pemerintah China di bawah kendali Perdana Menteri Li Keqiang mencoba menghindari kerontokan pasar real estate setelah harga rumah baru turun di beberapa kota.
Berdasarkan sebuah survei pada Mei lalu, harga rumah di 55 kota dari 70 kota mengalami penurunan. Ini merupakan penurunan terbanyak sejak Januari 2011.
Menurut Wang Ying, analis Fitch Rating di Shanghai, perlambatan ekonomi dan pelemahan pasar properti sangat terasa pada semester pertama tahun ini. Banyak pengembang mencatat penjualan selama semester satu kurang 50% dari target tahunan. "Padahal biasanya pengembang bisa mencapai lebih dari 50% target pada tahun-tahun sebelumnya," imbuhnya, seperti ditulis Bloomberg.
Menyikapi kondisi tersebut, bank sentral menyerukan agar bank-bank besar mempercepat persetujuan KPR untuk pembeli rumah pertama. Kota-kota seperti Nanning, Hohot dan Jinan pun melonggarkan pembatasan properti.
Wang bilang, pemerintah melonggarkan kebijakan setelah permintaan properti turun tahun ini. "Kebijakan yang diambil tahun ini menunjukkan bahwa pengetatan properti tidak akan sekuat sebelumnya," katanya.
Frank Chen, Kepala riset CBRE Group di Shanghai mengatakan, EBA merupakan salah satu cara untuk mencegah kejatuhan pasar properti. China sejatinya telah mengizinkan sekuritisasi aset ini pada tahun 2005. Tapi izin tersebut dicabut pada tahun 2009 setelah produk serupa dengan kualitas rendah memicu krisis finansial global.
Pemerintah kembali mengizinkan penerbitan EBA pada tahun 2012, dengan pembatasan tertentu agar risikonya lebih terukur. Chen bilang, EBA bisa membantu perbankan mendiversifikasikan risiko dan meningkatkan likuiditas.
"Tapi jika produknya terlalu dibikin rumit akan menimbulkan risiko yang sama seperti Amerika Serikat dengan krisis EBA di bawah standar," kata Chen. Jadi, China perlu lebih berhati-hati mengembangkan sekuritisasi.