Reporter: Rika Theo, Bloomberg |
BEIJING. China menyatakan Amerika Serikat (AS) mengirimkan sinyal salah serius kepada negara-negara yang berseteru di Laut China Selatan. AS mengritik China atas upayanya menguasai pulau Spratly dan Paracel yang kaya minyak.
Ketegangan makin menjadi-jadi di Laut China Selatan. Kementeran Luar Negeri AS mengatakan China mendirikan kota dan garnisun militer di pulau Paracel demi memblok secara fisik akses ke pulau di pinggir pantai Filipina itu.
Selain China, Vietnam, Malaysia, Taiwan, dan Brunei saling memperebutkan hak atas kedua pulau di tengah laut tersebut.
“Upaya China belakangan ini menolak langkah diplomasi bersama untuk memecahkan perbedaan dan berisiko menambah eskalasi ketegangan,” kata jurubicara Kementerian Luar Negeri AS Patrick Ventrell pada Jumat (3/8).
Selang sehari kemudian, jurubicara Kementerian Luar Negeri China Qin Gang membalas, “Kritikan Ventrell benar-benar mengabaikan fakta, mengacaukan yang benar dan yang salah, mengirimkan sinyal salah serius yang tak kondusif terhadap langkah menjaga perdamaian dan stabilitas kawasan.”
Kegarangan China vs kepentingan AS
Kegarangan China di Laut China Selatan bersamaan dengan persiapan negara itu menuju pergantian politik dan militer. Partai Komunis akan rapat untuk memilih anggota badan militer dan Politbiro. Pada Oktober atau November, kongres partai akan memilih presiden baru menggantikan Hu Jintao yang sudah satu dekade memimpin China.
“Tak seorang pun ingin terlihat lemah,” kata Dean Cheng, peneliti politik dan pertahanan China di Heritage Foundation in Washington.
Di sisi lain, Cheng melihat kepentingan AS dalam konflik Laut China Selatan adalah kebebasan navigasi di kawasan Asia. Jalur Laut China Selatan terutama penting bagi sekutu AS, yaitu Jepang dan Korea Selatan.
Ventrell sendiri mengaku AS tak punya ambisi teritorial di Laut China Selatan dan tidak mengambil posisi dalam sengketa. Ia menyarankan negara-negara yang bersengketa menyelesaikan kisruh klaim mereka dengan diplomasi tanpa kekerasan.
Kantor berita pemerintah China Xinhua menerbitkan kolom opini kemarin, yang meminta AS untuk menjaga kelakuan menyangkut sengketa itu. “Ketika pihak luar beruapaya menimbulkan ombak yang lebih besar, biasanya ia menunggu di tepi pantai untuk memungut apa yang terdampar ke pantai,” tutur Xinhua.
Menurut kantor berita itu, kota Sansha dan garnisun di Paracel merupakan penyesuaian yang wajar atas adiministrasi dan struktur militer China.
Namun, John McCreary, pensiunan analis Defense Intelligence Agency AS menyatakan semua itu merupakan strategi China untuk menjadikan Laut China Selatan sebagai perairan dalam negara itu. Dalam tulisannya di newsletter Nighwatch edisi 24 Juli, ia menganalis, “Fase interaksi diplomasi dan negosiasi di negara-negara Asia Tenggara sudah berakhir.”
Ia memprediksi sebentar lagi akan ada perlombaan senjata dan kapal patroli meski terbatas antara China dan tetangga-tetangganya. Konflik militer apapun yang terjadi, AS akan terlibat. Maklum, Filipina adalah sekutu dekat AS. Kedua negara juga memiliki pakta saling melindungi.