Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Aktivitas pabrik di sebagian besar ekonomi utama Asia menyusut pada September 2025, menurut survei swasta yang dirilis Rabu (1/10/2025).
Pelemahan ini didorong oleh tanda-tanda perlambatan pertumbuhan di Amerika Serikat (AS) serta dampak tarif Presiden Donald Trump, ditambah permintaan lemah dari China.
Tekanan pada sektor manufaktur menyoroti tantangan bagi para pembuat kebijakan di Asia untuk melindungi kawasan yang bergantung pada ekspor dari kenaikan tarif AS, kebijakan yang telah mengubah tatanan perdagangan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: PMI Manufaktur Jepang Turun ke 48,5 pada September 2025, Sinyal Kontraksi Berlanjut
Negara eksportir utama seperti Jepang dan pusat teknologi global Taiwan mencatat kontraksi aktivitas manufaktur pada September, menunjukkan bisnis di Asia yang sangat tergantung pada pasar AS berada pada posisi rentan.
China, mesin utama ekonomi global, juga tetap lesu. Survei resmi yang dirilis Senin lalu menunjukkan aktivitas manufaktur di ekonomi terbesar kedua dunia itu menyusut untuk bulan keenam berturut-turut, terdorong oleh lemahnya konsumsi domestik dan tekanan dari tarif AS.
Kelesuan yang berkepanjangan ini menegaskan tekanan ganda pada ekonomi China: permintaan domestik belum pulih secara signifikan sejak pandemi.
Sementara tarif Trump menekan pabrik-pabrik China dan perusahaan luar negeri yang membeli komponen dari China.
"Data PMI September untuk sebagian besar negara di Asia tetap lemah, dan kami memperkirakan aktivitas manufaktur di kawasan ini akan terus menghadapi kesulitan dalam jangka pendek," kata Shivaan Tandon, ekonom pasar negara berkembang di Capital Economics.
"Pertumbuhan diperkirakan melambat dan inflasi kemungkinan tetap terkendali, sehingga bank sentral di Asia diprediksi akan melonggarkan kebijakan lebih lanjut."
Baca Juga: PMI Manufaktur RI September Turun ke 50,4, Ekspansi Masih Berlanjut Meski Melambat
Di Jepang, indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur S&P Global turun ke 48,5 pada September dari 49,7 pada Agustus, tetap di bawah ambang 50,0 yang memisahkan pertumbuhan dan kontraksi.
Penurunan ini merupakan yang tercepat dalam enam bulan terakhir karena output dan pesanan baru menurun tajam, menurut survei.
"Secara keseluruhan, data menunjukkan bahwa kecuali ada perbaikan signifikan dalam permintaan domestik maupun luar negeri, sektor ini kemungkinan akan sulit mencatat pertumbuhan dalam waktu dekat," ujar Annabel Fiddes, Economics Associate Director S&P Global Market Intelligence, terkait PMI Jepang.
PMI manufaktur Taiwan turun menjadi 46,8 dari 47,4 pada Agustus. Aktivitas pabrik juga menyusut di Filipina dan Malaysia, menurut survei swasta.
Sebaliknya, aktivitas pabrik Korea Selatan kembali menguat pada September, untuk pertama kalinya dalam delapan bulan, didorong oleh meningkatnya permintaan luar negeri.
PMI manufaktur di ekonomi terbesar keempat Asia ini naik menjadi 50,7 dari 48,3 pada Agustus, bergerak di atas angka 50 untuk pertama kalinya sejak Januari 2025.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah Berpotensi Tekan PMI Manufaktur dan Picu Inflasi
Namun, prospek ekspor Korea Selatan bergantung pada negosiasi untuk meresmikan kesepakatan Juli yang bertujuan menurunkan tarif AS pada impor Korea, termasuk mobil, dari 25% menjadi 15% sebagai imbalan atas investasi Korea Selatan senilai $350 miliar di AS.
Pembicaraan ini tertunda karena kekhawatiran Seoul terkait dampak valuta asing.