Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - DAVOS. Ekonomi global tahun ini memang akan lesu, namun tidak akan sampai jatuh dalam resesi ekonomi. Sejumlah investor, bankir dan mantan pembuat kebijakan yang menghadiri World Economic Forum (WEF) di di Davos, Swiss berpendapat, ekspansi ekonomi memang melemah tetapi tidak cukup untuk menghasilkan resesi.
"Kami melambat, tapi kami masih terus berkembang," kata Philipp Hildebrand, Vice Chairman BlackRock Inc dan mantan bankir Swiss seperti dikutip Bloomberg. Menurut dia, peluang resesi ekonomi di tahun ini akan terbatas.
Pasar keuangan dunia telah goyah dalam beberapa bulan terakhir di tengah kekhawatiran pelemahan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China. Ditambah lagi kekhawatiran gencatan senjata perdagangan antara kedua negara itu mungkin tidak akan berlaku lagi. Ketidakpastian proses Brexit dan penutupan pemerintah AS makin menambah kekhawatiran investor.
Chief Executive Officer Citigroup Michael Corbat mempertanyakan apakah kondisi pasar seperti yang kita lihat pada bulan Desember 2018 lalu benar-benar memprediksi perlambatan ekonomi secara signifikan dan akan memunculkan resesi.
"Yang kita tahu itu salah," kata Corbat. Apalagi kalau melihat indikator fundamental ekonomi seperti data pekerjaan, upah dan pembelian rumah.
Meskipun memperkirakan tahun ini pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 3,5%, Dana Moneter Internasional (IMF) tidak mengubah perkiraan pertumbuhan ekonomi AS dan China. IMF juga memperkirakan kenaikan tipis ekonomi dunia pada tahun depan.
"Intinya adalah setelah dua tahun ekspansi yang kuat, ekonomi dunia tumbuh lebih lambat dari yang diharapkan dan risiko meningkat. Apakah itu berarti bahwa resesi global sudah dekat? Jawabannya adalah tidak," kata Direktur Pelaksana IMF Christine Lagarde.
Memang kekhawatiran utama saat ini adalah pelambatan ekonomi China. Data yang dirilis awal pekan ini menunjukkan di tahun 2018 merupakan ekspansi ekonomi paling lambat China sejak 1990. Ini karena Pemerintah China berusaha mengurangi ketergantungan pada investasi dan utang sambil mengisolasi dampak permintaan yang terancam perang perdagangan.
"Kisah terbesar dalam ekonomi global saat ini adalah perlambatan Tiongkok. Tepat di tengah-tengah transisi yang sangat sulit yang saya pikir mereka mengelola dengan cukup baik. Mereka terkena tarif, terpukul perang dagang, " kata Adair Turner, mantan pembuat kebijakan Bank of England dan sekarang Chairman Institute for New Economic Thinking.
Fang Xinghai, Wakil Ketua Komisi Regulasi Sekuritas China mengatakan, ketegangan perdagangan dengan AS belum mengubah arah jangka panjang ekonomi China. Ia menegaskan, perlambatan ekonomi itu tidak akan menjadi bencana. "Kebijakan Tiongkok sangat responsif dan bergantung pada data,” kata Fang.
Chief Executive Officer Blackstone Stephen Schwarzman memperkirakan, sekalipun ada penutupan pemerintahan AS, ekonomi AS masih akan tumbuh setidaknya 2,5% pada tahun ini dan ini cukup untuk menghindari resesi.
Pengangguran di AS yang mendekati level terendah dalam 50 tahun adalah kunci positif karena mendorong pertumbuhan upah yang lebih cepat.
"Saya juga tidak melihat perlambatan ekonomi. Masih ada peningkatan yang sehat dalam pengeluaran konsumen," timpal David Abney, CEO United Parcel Service Inc seperti dilansir Bloomberg.