Penulis: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - Ekonomi Myanmar semakin memburuk di bawah penguasaan militer sejak dua tahun silam. Bank Dunia memprediksi ekonomi negara itu hanya mampu tumbuh 1% dalam tahun fiskal yang berakhir pada bulan Maret mendatang.
Dalam laporan yang dirilis hari Selasa (12/12), Bank Dunia mencatat bahwa buruknya pertumbuhan ekonomi Myanmar didorong oleh pertempuran yang semakin intensif di dekat perbatasan dengan Tiongkok.
Pertempuran itu secara efektif telah memblokir jalur perdagangan dan menyebabkan kekurangan pangan dan kebutuhan lainnya, memperburuk inflasi yang sudah mendekati 30%.
"Ketidakstabilan politik ditambah dengan pandemi dan kesalahan manajemen yang dilakukan oleh kepemimpinan militer telah menggagalkan kemajuan ekonomi selama bertahun-tahun," tulis Bank Dunia dalam laporannya, dikutip AP News.
Bank Dunia juga mengakui bahwa upaya pemerintahan militer untuk menarik devisa dan menstabilkan mata uang Myanmar, kyat, tidak berjalan dengan efektif sehingga menyebabkan ketidakpastian dan mendistorsi pasar.
Baca Juga: Mengenal Etnis Rohingya, Minoritas Paling Teraniaya di Dunia
Bertumbuh 1% dalam Setahun
Perkiraan pertumbuhan sebesar 1% akan membuat ekonomi Myanmar di tahun 2024 menjadi 10% lebih kecil dari lima tahun sebelumnya.
Kekacauan di berbagai penjuru negeri membuat angka pemadaman listrik meningkat. Situasi ini praktis berdampak pada rumah dan tempat usaha yang terpaksa menjalankan generator dengan biaya tinggi.
Bank Dunia juga mencatat bahwa pemadaman listrik menyebabkan kerugian bagi produsen garmen sebesar hampir sepertiga dari penjualan mereka pada tahun 2022.
Jajak pendapat Bank Dunia pada bulan September menunjukkan bahwa perusahaan beroperasi dengan kapasitas kurang dari 60%, turun dari 75% di bulan April. Pendapatan rata-rata rumah tangga turun 10% pada kuartal April-Juni dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sektor pariwisata dinyatakan gagal pulih meskipun ada upaya pemerintah untuk menarik kembali pengunjung. Sayangnya, banyak jaringan hotel internasional masih tutup karena alasan keamanan.
Myanmar terlibat dalam konflik internal yang semakin luas sejak kudeta militer awal tahun 2021 memicu memicu gelombang perlawanan rakyat pendukung Aung San Suu Kyi yang digulingkan.
Eskalasi konflik antara militer dan kelompok pemberontak telah menyebabkan jumlah total orang yang mengungsi menjadi sekitar 2,5 juta orang.
Baca Juga: Myanmar Resmi Jadi Sumber Opium Terbesar di Dunia
Produsen Opium Terbesar di Dunia
Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, UNODC, pada hari Selasa (12/12) mengumumkan bahwa saat ini Myanmar menjadi sumber opium terbesar di dunia. Menurut UNODC, hal ini disebabkan oleh ketidakstabilan dalam negeri dan penurunan budidaya di Afghanistan.
Melansir CNA, UNODC mencatat adanya penurunan budidaya opium sebesar 95% di Afghanistan setelah pemerintah Taliban memperketat larangan narkoba di negara tersebut.
Situasi itu menyebabkan pasokan global beralih ke Myanmar. Ketidakstabilan politik, sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh kudeta tahun 2021 mendorong banyak orang memilih bekerja sebagai petani opium.
"Gangguan ekonomi, keamanan dan pemerintahan yang terjadi setelah pengambilalihan kekuasaan oleh militer pada bulan Februari 2021 terus mendorong para petani di daerah terpencil untuk beralih ke opium untuk mencari nafkah," kata Perwakilan Regional UNODC, Jeremy Douglas.
UNODC menemukan petani Myanmar kini memperoleh penghasilan sekitar 75% lebih banyak dari pertanian opium. Terlebih lagi, kini harga rata-rata bunga opium telah mencapai sekitar US$355 per kilogram.
Area perkebunan opium di Myanmar juga meningkat sebesar 18% dari tahun ke tahun, dari 40.100 hektar menjadi 47.000 hektar. Kondisi ini praktis meningkatkan potensi hasil ke level tertinggi sejak tahun 2001.