Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - MELBOURNE. Pemerintah Australia memperkirakan emas akan menjadi ekspor sumber daya paling berharga kedua setelah bijih besi pada tahun fiskal ini.
Posisi tersebut akan menggeser gas alam cair (LNG), seiring meningkatnya permintaan terhadap logam safe haven di tengah ketidakstabilan geopolitik.
Menurut laporan triwulanan September dari Departemen Perindustrian, ekspor emas Australia diperkirakan naik A$12 miliar menjadi A$60 miliar pada tahun fiskal yang berakhir Juni 2026.
Baca Juga: Mengenal Sumber Daya Alam Non Hayati Indonesia Fungsi Jenisnya
Kenaikan itu didorong oleh volume ekspor yang lebih besar dengan harga jual lebih tinggi.
Pendapatan ekspor emas diprediksi melampaui LNG yang hanya akan mencapai A$ 54 miliar pada tahun fiskal ini, dan turun lebih jauh menjadi A$48 miliar pada tahun berikutnya akibat penurunan harga minyak.
Laporan itu juga menyebutkan, suku bunga yang lebih rendah di Amerika Serikat akan menopang harga emas tetap di atas US$3.200 per troy ounce dalam dua tahun ke depan. Bahkan, harga emas telah mencetak rekor pada Senin lalu dan mendekati US$4.000 per ons.
Tren ini berlawanan dengan sebagian besar komoditas Australia lain yang cenderung melemah setelah harga energi kembali normal.
Sebelumnya, perang di Ukraina sempat mendorong lonjakan harga hingga membawa pendapatan ekspor sumber daya Australia mencatat rekor di atas A$ 460 miliar pada 2022–2023.
Secara keseluruhan, pendapatan ekspor sumber daya dan energi Australia diperkirakan turun 5% menjadi A$369 miliar pada tahun fiskal berjalan, dan kembali turun menjadi A$354 miliar pada tahun berikutnya.
Baca Juga: Valas Hasil Ekspor Belum Signifikan Topang Devisa
“Pasar komoditas mengantisipasi pertumbuhan dunia yang lebih lambat akibat meningkatnya hambatan perdagangan serta kondisi moneter yang masih restriktif atau netral di AS,” bunyi laporan tersebut.
Meski begitu, bijih besi tetap menjadi penopang utama ekspor Australia. Komoditas ini diperkirakan menyumbang lebih dari 25% pendapatan sumber daya dan energi dalam dua tahun mendatang.
Proyeksi harga bijih besi juga direvisi naik 10% menjadi rata-rata US$87 per metrik ton tahun fiskal ini, didukung oleh permintaan baja untuk pembangunan bendungan hidro baru di Tibet serta upaya Tiongkok mengurangi kelebihan kapasitas industrinya.
Baca Juga: Genjot Sumber Daya Produksi, Emiten Ekspansi Ke Luar Negeri
Kendati demikian, tren jangka panjang menunjukkan penurunan. Pendapatan ekspor bijih besi diperkirakan turun A$3,9 miliar menjadi A$113 miliar pada 2025–2026, dan kembali turun menjadi A$103 miliar pada 2026–2027.