Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro
BRUSSELS. Perdebatan dan pro kontra seputar imigran tidak ada habis-habisnya. Di satu sisi, kehadiran para imigran bisa menumbuhkan perekonomian dan menguntungkan keuangan negara. Maklum, para tenaga kerja imigran umumnya dibayar dengan upah relatif lebih rendah dibandingkan gaji warga pribumi. Di sisi lain, kontribusi imigran terhadap anggaran publik tidak signifikan. Sebaliknya, para imigran lebih besar memperoleh hak ketimbang kewajiban mereka.
Arus imigran di sejumlah negara diprediksi meningkat pada tahun ini. Lonjakan imigran bakal terjadi di kawasan Eropa, setelah tiga tahun menurun selama krisis. Di tengah peningkatan arus imigran, prospek pekerjaan bagi para pendatang cenderung memburuk. Laporan terbaru Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebutkan, satu dari dua imigran di Eropa masih mencari pekerjaan setelah lebih dari 12 bulan berada di negara itu.
Laporan OECD bertajuk The 2013 International Migration Outlook ini menyatakan, angka migrasi penduduk ke negara OECD pada 2011 meningkat 2% year-on-year menjadi 4 juta orang. Data nasional terbaru menunjukkan pertumbuhan serupa pada tahun lalu. "Pemerintah harus melakukan upaya sekuat tenaga agar meningkatkan prospek pekerjaan para imigran," ucap Sekretaris Jenderal OECD, Angel Gurria dalam presentasi hasil laporan organisasi itu di Brussels, Belgia.
Laporan OECD juga menyinggung dampak keberadaan imigran terhadap beban anggaran di 27 negara kaya. Riset ini mengacu data survei rumah tangga yang membandingkan secara rinci antara imigran dan masyarakat pribumi dalam kontribusi langsung bersih ke pendapatan publik. Dari sini, ada perbedaan antara apa yang mereka bayar berupa pajak langsung dan kontribusi sosial-keamanan dengan manfaat yang mereka terima.
Mengutip The Economist, hasil riset OECD menunjukkan kekhawatiran besar, yakni imigran adalah pecandu kesejahteraan. Meski faktanya, kontribusi langsung bersih para imigran di sejumlah negara terhadap anggaran publik umumnya positif. Pengecualian mungkin terjadi di Jerman, yang memiliki banyak pensiunan asing kelahiran Turki sebagai pekerja tamu pada tahun 1960 dan pekerja asing bekas Uni Soviet pada 1990-an.
Di Jerman, kontribusi langsung bersih para imigran terhadap anggaran publik cenderung lebih rendah dibandingkan pribumi. Tapi ini muncul dari imigran yang membayar pajak lebih sedikit daripada menerima manfaatnya. Imigran minim membayar pajak karena pekerjaannya lebih rendah, terutama kaum perempuan.
Jika negara ingin mendulang hasil maksimal dari imigran, jawabannya adalah akses pekerjaan harus lebih banyak. Faktanya, dampak fiskal imigran melampaui kontribusi bersih langsung mereka ke keuangan publik. Di sisi pendapatan, imigran juga membayar PPN atas konsumsi mereka (meskipun pada tingkat lebih rendah daripada pribumi).
Di sisi lain, para imigran menggunakan layanan yang didanai oleh anggaran publik seperti kesehatan dan pendidikan. Karena usia mereka lebih muda daripada kalangan pribumi, maka biaya kesehatan imigran lebih rendah. Tapi di bagian lain, populasi yang lebih muda justru cenderung mengeluarkan biaya sekolah lebih tinggi.
Riset OECD memperlihatkan, imigran yang umumnya menguntungkan bagi anggaran nasional, memberikan kontribusi sebesar 0,3% dari rata-rata produk domestik bruto (PDB) pada periode 2007-2009. Kontribusi imigran terbesar terjadi di Luksemburg, sedangkan kontribusi imigran di Jerman justru minus.
Benang merahnya, migrasi sejatinya bukan sebuah keuntungan signifikan bagi pos pendanaan publik sebuah negara.