Sumber: Fortune | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Industri barang mewah global senilai US$1,7 triliun menghadapi tantangan besar.
Setelah mengalami pertumbuhan selama bertahun-tahun, sektor ini mulai menyusut, dengan kehilangan sekitar 50 juta pelanggan sepanjang tahun lalu, terutama dari kalangan muda.
Hal ini memaksa merek-merek mewah untuk mencari keseimbangan baru antara eksklusivitas dan kebutuhan generasi digital akan ekspresi diri dan berbagi secara daring.
Menurut laporan terbaru dari Bain & Co, nilai pasar barang mewah global pada 2024 mencapai €1,5 triliun. Namun, pada kuartal I 2025, sektor ini diperkirakan menyusut 3% dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Bidik Gen Z, WINGS Group Rambah Bisnis AMDK dengan Meluncurkan AQUVIVA
Barang mewah pribadi, termasuk fesyen dan aksesori, tercatat turun dari €369 miliar pada 2023 menjadi €364 miliar pada 2024, kontraksi pertama dalam 15 tahun, di luar masa pandemi.
Claudia D’Arpizio dan Federica Levato dari Bain & Co mencatat bahwa kesenjangan antara pelaku industri terus melebar.
Performa antara kelompok teratas dan terbawah meningkat 1,5 kali lipat pada awal 2025. Sekitar 20% hingga 30% pelaku terbawah masih mencatatkan penurunan pertumbuhan, sementara pemain besar tetap mendominasi.
Masalah utamanya adalah konsumen kini mempertanyakan nilai dari pembelian mereka, apakah produk mewah yang mereka beli setimpal dengan harga yang dibayar dalam hal pengalaman, status sosial, hingga kualitas pengerjaan.
“Untuk waktu yang lama, merek-merek mewah mencoba memperluas basis pelanggan mereka agar lebih inklusif,” ujar D’Arpizio kepada Fortune.
Baca Juga: AO Hadir Varian Baru, Orang Tua Luncurkan AO MILD bagi Kaum Gen Z dan Milenial
Upaya ini semakin digencarkan melalui produk-produk “entry level” seperti streetwear, sepatu kets, dan kosmetik—kategori yang menarik bagi konsumen muda atau dengan daya beli lebih rendah. Namun, strategi ini dinilai terlalu jauh, membuat inovasi melambat dan mengurangi daya tarik eksklusivitas.
“Jadi tahun lalu kami mengalami kehilangan pelanggan yang besar, sekitar 50 juta pelanggan lebih sedikit yang membeli produk mewah, khususnya pada generasi muda, dan penurunan besar dalam advokasi pelanggan,” lanjut D’Arpizio.
“Apa yang terjadi sekarang adalah merek mencoba memperbaikinya, dan mencoba menghidupkan kembali hubungan ini dengan pelanggan ini tanpa kehilangan eksklusivitas mereka.”
Namun, mempertahankan eksklusivitas di era media sosial bukan perkara mudah. Generasi muda, khususnya Gen Z, tumbuh dalam budaya berbagi dan mengekspresikan identitas secara daring.
Pesta tanpa kamera dan ruang eksklusif tanpa perekaman kini tinggal kenangan, tergantikan oleh unggahan instan di media sosial.
Baca Juga: Aice Jadi Pilihan Es Krim Kalangan Gen Z dan Mampu Kantongi Award
“Kemewahan selalu tentang pamer,” ujar D’Arpizio, pimpinan divisi mode global dan barang mewah Bain & Co.
“Generasi sebelumnya memamerkan kekayaan dan prestasi hidup, sekarang lebih banyak menampilkan kepribadian, estetika pilihan, dan kualitas hidup.”
Menurutnya, Gen Z memiliki dua dorongan utama yang saling bertentangan namun sama-sama kuat: keinginan untuk mengekspresikan diri dan kebutuhan untuk menyesuaikan diri.
“Ini adalah pendorong besar konsumsi barang mewah. Merek-merek mewah menawarkan ruang untuk menyesuaikan diri, namun di dalamnya tetap memungkinkan gaya pribadi berkembang dan menjadi bentuk ekspresi diri,” jelasnya.
Baca Juga: Samsung S25 Punya AI Canggih yang Bisa Bantu Gen Z Bikin Konten Viral
D’Arpizio menambahkan, media sosial telah menjadi pendorong utama konsumsi barang mewah. Potensi berbagi dengan audiens luas tidak hanya menciptakan pasar baru, tetapi juga memaksa merek untuk memperluas jangkauan komunikasi mereka.
“Jadi ya, mereka ingin menjadi eksklusif, tetapi mereka tahu kekuatan media sosial,” pungkasnya.