Reporter: Dyah Megasari, The Wall Street Journal, BBC |
TOKYO. Jepang akhirnya mulai membuka suara secara tegas atas konflik yang terjadi dengan China. Penutupan pabrik perusahaan Jepang di China berbuntut panjang.
Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda memperingatkan China bahwa kegiatan ekonomi keduanya akan terganggu oleh konflik tersebut. Bahkan sengketa perebutan pulau itu bisa mengancam pertumbuhan ekonomi global.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan Minggu (23/9) larut malam, Noda menilai posisi beijing yang kaku tanpa kompromi di tengah sengketa wilayah dengan Jepang berpotensi menggerogoti keuntungan bisnis negeri tirai bambu itu sendiri.
"China harusnya berkembang dengan beragam investasi asing yang diterimanya," tegas Noda.
Menurutnya, tak seharusnya pemerintah China membiarkan rakyatnya menjadi arogan dengan merusak semua fasilitas perusahaan Jepang.
"Saya berharap China bersikap dingin dan rasional dengan memahami bahwa apa pun yang bisa mengancam situasi itu berarti merugikan diri sendiri," tambahnya.
Sengketa yang terus berlanjut antar dua negara terbesar Asia ini berkisar pada perang klaim terhadap kepulauan Senkaku, atau pulau Diaoyu dalam bahasa China, yang kini masih dikontrol oleh kekuatan pemerintah negeri Matahari Terbit.
Penundaan acara
Akibat perselisihan ini pada hari Minggu (23/9) pemerintah China mengumumkan akan menunda peringatan 40 tahun hubungan dua negara yang mestinya menjadi sebuah perayaan semarak.
Sementara di wilayah perairan yang diperebutkan, dua kapal perang China dikirim memasuki teritori kepulauan yang dikelola Jepang.
Noda menegaskan banyak perusahaan Jepang yang kini mengalami apa yang disebutnya sebagai 'gangguan ekonomi' dari China.
"Penundaan pabean dan penerbitan visa baru-baru ini mengkhawatirkan," terang Noda. Sebetulnya konflik serupa pernah terjadi di masa lampau. Namun peristiwa terakhir dinilai merupakan titik hubungan terburuk sepanjang sejarah.