Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia
CANBERRA. Sinyal positif hubungan Indonesia dan Australia mulai muncul. Kamis pekan lalu di Jakarta, Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema muncul di publik bersama Dubes Australia untuk Indonesia Greg Moriarty di pertemuan tingkat tinggi yang digelar Australia Indonesia Center.
Analis untuk Indonesia dan profesor Monash University Greg Barton melihat kemunculan Kesoema dan Moriarty sebagai sinyal positif. Menurut dia, ini adalah kemajuan bagi kedua negara yang saat ini sedang menyusun kesepakatan tentang cara pengumpulan info intelijen.
Hubungan Indonesia - Australia memanas setelah Edward Snowden, mata-mata intelijen yang kini menjadi buronan AS, mengatakan Negeri Kangguru menyadap perangkat telekomunikasi petinggi Indonesia.
"Ini jelas bahwa upaya pemulihan hubungan tersebut sudah mulai bekerja, sehingga keduanya bisa berbicara di depan publik tentang rencana merampungkan kesepakatan itu," kata Barton pada The Australian.
Dia juga memperkirakan Kesoema yang ditarik kembali ke Jakarta November lalu lantaran masalah sadap-menyadap, bisa segera ditugaskan lagi ke Canberra di akhir bulan ini. Menurut Barton, krisis mata-mata bukan lagi jadi masalah utama menyelesaikan pertengkaran, tapi seretnya kerjasama kedua negara.
Mengutip dari situs pemerintah Australia, transaksi perdagangan barang dan jasa kedua negara mencapai US$ 14,2 miliar di periode 2012-2013. Investasi Australia di Indonesia mencapai US$ 10,9 miliar. Serta terdapat sekitar 400 korporasi Australia di Indonesia yang tersebar di berbagai sektor mulai dari ertambangan, agribisnis, konstruksi, infrastruktur, keuangan, kesehatan, makanan-minuman, serta transportasi.
Namun, cepat-lambatnya protokol intelijen rampung juga tergantung langkah Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, yang rencananya mengunjungi Indonesia Juni mendatang. "Jika Abbott datang Juni nanti, itu artinya hubungan kedua negara sebagian besar kembali normal," kata Barton.
Pada 3 Mei lalu, Abbott menolak datang ke Indonesia. Ketika itu Bali menjadi tuan rumah Asia-Pacific Open Government Partnership dan mengundang petinggi sembilan negara.
Dia menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memilih melonggarkan ketegangan sebelum masa jabatannya berakhir. Sehingga, ada peluang kedua negara berbaikan sebelum pemilu presiden 9 Juli mendatang.