kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Invasi Rusia ke Ukraina Membawa Dunia dalam Krisis Pangan, Bagaimana Indonesia?


Sabtu, 23 Juli 2022 / 22:16 WIB
Invasi Rusia ke Ukraina Membawa Dunia dalam Krisis Pangan, Bagaimana Indonesia?
ILUSTRASI. Gandum Ukraina. Invasi Rusia ke Ukraina Membawa Dunia dalam Krisis Pangan, Bagaimana Indonesia?


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Di era yang menurut futurolog Jepang Kenichi Ohmae borderless word ini, di mana jalin-kelindan antarnegara kian rapat dan saling berhubungan dalam modus kausalitas, petaka pada negara yang satu mustahil tak membuat persoalan bagi yang lain.  Begitu juga dengan invasi Rusia ke Ukraina telah membuat dunia kian dekat ke tubir kelaparan. 

Ukraina adalah wilayah yang sejak lama menjadi lumbung pangan Eropa, hingga berjuluk “The breadbasket of Europe”. Jika negara itu pernah mengalami horror kelaparan yang dikenang sebagai Holodomor di tahun 1930-an, itu bukan karena warga negaranya tiba-tiba mayoritas jadi pemalas. Itu karena Stalin  yang memimpin Rusia saat itu merampas hak Ukraina. 

New Geopolitics Research Network (NGRN), lembaga public yang konsen dengan isu geopolitik internasional, menulis data lama bahwa Ukraina adalah salah satu pemasok terbesar bahan pangan. Tidak hanya minyak bunga matahari yang bisa dipandang orang sebagai bahan komplementer, Ukraina pun jawara penghasil gandum, jagung, hingga jelai.

Yang lebih menarik, pasar Ukraina tak hanya rakyat kaya di benua Eropa, melainkan pula negara-negara berpenghasilan rendah di seluruh dunia, serta pemasok beragam organisasi internasional yang peduli pada pemenuhan pangan rakyat dunia. 

“Panen gandum Ukraina sempat memecahkan rekor pada 2021, mengumpulkan 107 juta metrik ton (mmt),”tulis seperti dilansir NGRN.

Baca Juga: Konflik Rusia-Ukraina Akan Masuk Bulan Keenam, AS Jajaki Suplai Jet Tempur untuk Kyiv

NGRN mencatat, sektor pertanian dan pangan mewakili hampir 10% GNP Ukraina. “Tahun lalu, Ukraina mengekspor produk makanan dengan total hampir 28 miliar dollar AS ke seluruh dunia, termasuk tujuh miliar euro (7,4 miliar dolar) sendiri ke negara-negara Uni Eropa.”

Jangan salah, di antara negara-negara yang tergantung kepada Ukraina tersebut, posisi Indonesia tidaklah menyempil laiknya kutil. Data International Trade Center (ITC), lembaga multilateral yang memiliki mandat bersama World Trade Organization dan PBB melalui United Nations Conference on Trade and Development, menyatakan posisi ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan Ukraina itu terang benderang.

Hampir sepertiga kebutuhan gandum Indonesia (27%) dipasok Ukraina. Jika Anda skeptis mengingat tak banyak orang Indonesia bergantung kepada roti, lihatlah kiri-kanan Anda.

Lihatlah, betapa anak, teman, saudara, atau bahkan Anda sendiri cukup tergantung kepada pasokan mie instan, seberapa pun tinggi penghasilan hari ini. Itu bukanlah gandum hasil tanam petani Karawang, tentu.

Bila urusan Indonesia hanya sebatas mie instan, tidak demikian dengan negara-negara lain yang lebih tergantung kepada gandum. Tingkat ketergantungan akan impor dari Ukraina itu diderita Lebanon (80% impor), Libya (44%), Tunisia (42%), Pakistan (46%), Yaman, Mesir, Turki, Maroko, Bangladesh, hingga Israel, yang masing-masing tak kurang dari 20-an persen. 

Para ahli sepakat bahwa hari ini tidak mungkin untuk menemukan pemasok alternatif dan mengganti volume produk pertanian dari Ukraina tersebut. Para ahli bahkan mengklaim itu benar-benar tidak mungkin, bahkan dalam 3 tahun samapi 5 tahun ke depan. Di sisi lain, saat ini lebih dari 400 juta orang di dunia bergantung pada pasokan biji-bijian dan pangan dari Ukraina. 

Sementara perang yang kini berkobar di Ukraina akibat invasi Rusia, membuat rantai pasokan itu bukan hanya terganggu, tetapi di beberapa sisi, terputus. 

Baca Juga: Harga Mi Instan di Indonesia Bakal Naik Akibat Perang Rusia-Ukraina, Mengapa?

Perang segera menimbulkan ancaman terhadap ketahanan pangan global, yang saat ini mulai terasa sangat akut di beberapa negara kawasan MENA (middle east and north Africa), antara lain, Mesir, Yaman, Lebanon, Israel, Libya, Lebanon, Tunisia, Maroko, Irak, Arab Saudi, dan negara-negara Asia, yakni Indonesia, Bangladesh, Pakistan—negara-negara pembeli utama gandum dan jagung di pasar dunia.

Di sisi lain, sukar beredarnya produk pangan Ukraina karena perang, penghancuran dan blockade laut, membuat harga semakin meningkat, demikian pula risiko kelaparan di negara-negara miskin di MENA. 

“Perang telah mempengaruhi sekitar 25% dari perdagangan sereal dunia dan menyebabkan kenaikan harga dunia, inflasi pangan dan berkurangnya akses terhadap pangan di negara-negara pengimpor pangan Ukraina,”tulis NGRN.

Pemerintah Ukraina sendiri menyatakan, invasi skala penuh Rusia ke Ukraina telah menyebabkan kerusakan pada sektor pertanian negara dengan total kerugian  4,29 miliar dollar AS.

Di sisi lain, tanpa Rusia memanfaatkan perang sebagai kesempatan menjarah. Pertengahan Mei lalu, media terkemuka Fortune menulis sebuah artikel yang menyatakan Rusia telah menjual gandum milik Ukraina yang dicurinya, di sebuah pelabuhan di Suriah. 

Reuters pun kemudian melaporkan bahwa pada sekitaran 18 Juni lalu banyak kapal berbendera Rusia dilaporkan menurunkan gandum Ukraina di luar negeri.

Dua kapal curah Rusia, kapal dagang yang dirancang untuk membawa kargo curah yang tidak dikemas seperti biji-bijian, terlihat tengah membongkar muatan biji-bijian di pelabuhan Suriah oleh perusahaan satelit AS, Maxar Technologies.

Kapal-kapal yang sama beberapa hari sebelumnya terlihat memuat biji-bijian di kota pelabuhan Krimea, Sevastopol. Berdasarkan citra satelit yang diambil pada bulan Mei, Maxar melaporkan bahwa pasukan Rusia selama berminggu-minggu dilaporkan memuat biji-bijian Ukraina yang mereka curi. 

Baca Juga: Tahun Ini, Pyridam Farma (PYFA) Berharap Mencapai Pertumbuhan Penjualan Dua Digit

Gambar Maxar itu menguatkan laporan badan intelijen Kementerian Pertahanan Ukraina, yang pada Mei lalu mengatakan, kapal-kapal Rusia telah mengangkut gandum hasil curian dari Ukraina itu ke Suriah. Baik PBB dan intelijen AS telah memperingatkan bahwa ada bukti yang dapat dipercaya bahwa pasukan Rusia telah mencuri hasil panen Ukraina. 

Mei lalu CNN juga melaporkan bahwa truk Rusia juga terlihat menjarah silo gandum Ukraina dan mengangkut barang curian ke pelabuhan yang dikuasai Rusia di Krimea. Menurut UAC, serikat produsen pertanian Ukraina, hingga Mei saja pasukan Rusia telah mencuri sekitar 600 ribu ton gandum Ukraina. Dari jumlah tersebut, sekitar 100.000 ton gandum senilai lebih dari 40 juta dollar AS telah dikirim ke Suriah selama tiga bulan terakhir, sebagaimana dinyatakan Kedutaan Ukraina di Lebanon, kepada Reuters. 

Baru-baru ini, harian Spanyol, "El Pais", menyatakan bahwa citra satelit mengonfirmasi setidaknya 16 kapal kargo Rusia telah mengirimkan gandum yang dicuri dari Ukraina ke pelabuhan di seluruh dunia. Kapal-kapal yang melewati Selat Bosphorus itu berjalan terutama menuju Suriah, serta beberapa pelabuhan lain di Mediterania serta Laut Merah. Untuk menghindari deteksi, kapal-kapal Rusia itu telah mematikan suar lokalisasi mereka, yang sebenarnya diharuskan menyalakannya oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO). Mereka hanya menyalakannya sesaat sebelum melewati Laut Hitam, ke Mediterania melalui Selat Turki.

Baca Juga: Setelah ECB Menaikkan Suku Bunga, Spanyol Akan Mengutip Pajak Baru Atas Laba Bank

"Ini adalah kegiatan kriminal,"kata Kedutaan Besar Ukraina di Lebanon. Pejabat Rusia sendiri telah berulang kali membantah bahwa pasukannya bukan kelompok pencopet yang mencuri biji-bijian Ukraina. Dalam sebuah wawancara, Wakil Perdana Menteri Rusia, Viktoria Abramchenko, mengatakan bahwa Rusia “tidak mengirimkan biji-bijian dari Ukraina.” 

Namun terlepas dari protes Rusia, pejabat Ukraina berkeras bahwa gandum curian dari Ukraina telah beredar di banyak negara Timur Tengah dan Afrika. Seorang utusan diplomatik Ukraina untuk Turki mengatakan kepada wartawan Juni lalu, bahwa pembeli Turki menerima kiriman biji-bijian curian dalam jumlah besar. 

Solusi untuk dunia

Blokade pelabuhan-pelabuhan laut Ukraina oleh Rusia itu jelas mengancam nasib 400 juta orang di seluruh dunia yang tergantung kepada impor bahan pangan Ukraina. Pemerintah Ukraina mencatat, saat inu saja Rusia memblokade sekitar 40 kapal komersial yang memuat komoditas pertanian di Laut Hitam.

Benar bahwa Ukraina saat ini pun masih memiliki tiga terminal pelabuhan ekspor di Sungai Danube, yakni Pelabuhan Izmail ( kapasitas 1,5 mmt per tahun), Reni (4 mmt per tahun) dan Kiliya (0,4 mmt per tahun). Namun dibandingkan Pelabuhan Odesa dan Mykolaiv, kapasitasnya sangat terbatas. 

“Melalui pelabuhan Sungai Danube itu, kami hanya bisa mengekspor sekitar 30 persen dari volume ekspor saat ini,”kata Kementerian Luar Negeri Ukraina dalam pernyataan pers mereka. Masalah yang lebih besar menghadang nanti, manakala ladang-ladang gandum mulai dipanen. Jika tidak kembali dirampas Rusia, alih-alih memberi jutaan mulut kelaparan di seluruh dunia, hasil panen gandum itu bisa jadi membusuk mubazir. Pemerintah Ukraina menyatakan, saat ini saja telah dipanen sekitar 1,1 juta metrik ton (mmt) gandum dari ladang-ladang petani. 

Karena itu, pemerintah Ukraina menegaskan bahwa pembukaan blokade pelabuhan adalah hal yang urgen. “Kami menuntut agar Rusia mengakhiri pencurian biji-bijian, membuka pelabuhan Ukraina, memulihkan kebebasan navigasi, dan mengizinkan kapal dagang berlayar untuk mencegah bencana kemanusiaan dan krisis pangan global,”kata Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba. Ia juga  mendesak masyarakat internasional untuk menolak pemerasan makanan ala Kremlin,  yaitu seruan Rusia untuk mencabut atau mengurangi tekanan sanksi terhadap Rusia sebagai imbalan pembukaan rute komersial melalui Laut Hitam.

Baca Juga: Gold Rises on Falling Yields, Focus Shifts to Fed Meeting

Untunglah PBB dan Turki melihat urusan pangan ini telah pada situasi genting. Sejak beberapa waktu lalu mereka mencoba mengupayakan pembicaraan dengan kedua pihak dan sebuah pertemuan catur pihak—Ukraina, Rusia, Turki sebagai penengah, dan PBB. Pada 13 Juli lalu, Menteri Pertahanan Turli, Hulusi Akar,  mengatakan bahwa Rusia, Ukraina, Turki, dan PBB akan segera menandatangani kesepakatan koridor ekspor gandum, setelah pembicaraan di Istanbul. Akar menegaskan bahwa kesepakatan akan terjadi pekan-pekan ini. 

“Kesepakatan dicapai pada rencana, prinsip-prinsip umum untuk pengiriman biji-bijian dan produk makanan [...] Kemungkinan pertemuan dalam sepekan ini,”kata Menteri Akar. Menteri Akar mengatakan dalam sebuah pernyataan setelah pembicaraan itu, bahwa kesepakatan untuk memungkinkan pelepasan jutaan ton gandum Ukraina bisa datang paling cepat pekan depan.

Akar juga mengatakan, Turki akan memainkan peran penting dalam memeriksa pengiriman di pelabuhan dan menjamin keamanan rute ekspor Laut Hitam. “Selain itu, pusat koordinasi dengan Ukraina, Rusia, dan PBB untuk mengekspor gandum akan didirikan di Turki,”kata dia. 

Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dengan gembira menyambut proses tersebut, meski memperingatkan bahwa itu belum menjadi kesepakatan.  “Lebih banyak pekerjaan teknis diperlukan untuk mewujudkan kemajuan hari ini. Tapi momentumnya jelas," kata Guterres. Ia juga mewanti-wanti, kecuali puluhan juta ton bahan pangan yang tertahan di pelabuhan Ukraina itu dilepaskan, harga pangan dunia akan terus naik, mengancam kelaparan di seluruh dunia.

Baca Juga: Ekonom Ini Prediksi Inflasi Tahun 2022 Bisa Menembus 4,7%

Dengan kesepakatan yang telah di ambang pintu tersebut, 20 juta ton bahan pangan yang kini terjebak dalam silo di Odesa, semoga dapat keluar Ukraina dan memberi makan jutaan warga dunia. 

“Kemajuan dalam pembicaraan Istanbul telah menegaskan Turki sebagai fasilitator penting dalam negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai,”kata Sinan Ulgen dari Center for Economics and Foreign Policy Studies, sebuah organisasi riset di Istanbul.

“Presiden (Recep Tayyip) Erdogan telah berhati-hati untuk menyoroti bahwa Turki ingin menjaga hubungan dengan kedua belah pihak. Jadi, sebagai akibat dari kebijakan yang seimbang ini, Turki telah berusaha untuk mengukir ruang bagi pengaruh diplomatik sebagai fasilitator atau seorang penengah," kata Ulgen.




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×