Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
Pelabuhan Tyre yang biasanya ramai kini sunyi. Nelayan yang biasanya membawa tangkapan untuk dijual, kini hanya memeriksa kapal mereka. Toko dan restoran tutup, kulkas yang biasanya penuh dengan ikan segar kosong.
Hanya mereka yang tidak punya pilihan lain yang tetap tinggal. Wael Mroueh, seorang dokter berusia 49 tahun dan direktur Rumah Sakit Jabal Amel, memilih bertahan di Tyre meski keluarganya telah ia kirim ke tempat yang lebih aman.
Mroueh merasa bertanggung jawab untuk merawat para pasien yang terluka akibat perang, meski jumlah staf rumah sakit berkurang drastis. Hanya seperempat dokter dan sepertiga perawat yang masih bertahan.
Baca Juga: Israel Menyempurnakan Rencana untuk Serang Balik Iran, Netanyahu yang Memimpin
"Saya khawatir tidak akan melihat keluarga saya lagi karena perang yang sangat kejam ini," ujarnya sambil menangis.
Mroueh mengatakan serangan Israel, yang menargetkan pekerja medis dan fasilitas kesehatan, adalah upaya untuk menghancurkan moral penduduk Lebanon. Namun, ia menegaskan bahwa tanggung jawabnya sebagai dokter tetap kuat.
"Jika semua orang pergi, tidak akan ada yang tersisa," katanya. "Ini adalah bagian dari perlawanan kita."
Serangan Israel telah menghentikan operasi di 13 rumah sakit dan lebih dari 100 fasilitas kesehatan di Lebanon. Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa lebih dari 100 petugas medis dan penyelamat tewas dalam konflik ini.
Baca Juga: Israel Tangkap Tujuh Warganya yang Dituduh Jadi Mata-mata Iran
Tyre kini menjadi simbol dari kehancuran yang meluas akibat perang, dengan warganya yang tersisa hanya berharap bahwa perdamaian segera datang.