Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - TYRE. Serangan udara Israel telah mengubah Tyre, sebuah kota pelabuhan di Lebanon yang biasanya tenang, menjadi kota yang sepi dan mencekam.
Asap hitam mengepul di langit, reruntuhan bangunan yang biasanya dipadati turis kini kosong, dan pantai yang dulu ramai oleh nelayan serta pengunjung kini ditinggalkan.
Selama sebagian besar tahun, Tyre dianggap aman meski terjadi baku tembak antara kelompok bersenjata Hizbullah dan Israel. Namun, serangan udara Israel minggu ini memicu ketakutan bahwa tidak ada tempat di Lebanon yang benar-benar aman.
Baca Juga: Negara-Negara Besar Dorong Gencatan Senjata dan Bantuan untuk Lebanon
Di salah satu blok perumahan yang hancur akibat serangan, sebuah keluarga terlihat memuat barang-barang ke dalam mobil di tengah puing-puing.
Beberapa kasur ditumpuk di atap kendaraan, sementara bangunan di sekitar mereka mengalami kerusakan berat, memperlihatkan bagian dalam yang hancur. Barang-barang pribadi seperti sepatu, foto, dan mainan berserakan di jalan.
Pantai Tyre yang biasanya indah kini sepi. Bulan lalu, aktivis konservasi sempat membantu penyu laut bertelur di sepanjang garis pantai, namun sejak itu, militer Israel memperingatkan tentang potensi bahaya di laut, mengancam aktivitas tersebut.
Khalil Ali, seorang nelayan berusia 59 tahun, menyatakan kekhawatirannya. "Kami sangat cemas," ujarnya. "Situasinya bisa seperti di Gaza. Israel mungkin akan memaksa kami mengungsi."
Baca Juga: Hizbullah Disebut Sembunyikan US$ 500 juta dalam Emas dan Uang Tunai di RS Lebanon
Hingga saat ini, lebih dari 2.500 orang tewas dan lebih dari 1,2 juta orang terpaksa mengungsi akibat serangan Israel di Lebanon, menurut data otoritas setempat.
Wali Kota Tyre, Hassan Dabouq, mengungkapkan bahwa hanya seperempat penduduk kota yang tersisa, sementara yang lainnya khawatir akan nasib serupa dengan yang terjadi di Gaza. "Perang ini sama, aktor-aktornya sama, dan dukungannya juga sama dari Amerika dan Eropa," kata Dabouq.
Kehidupan Ekonomi Terhenti
Pelabuhan Tyre yang biasanya ramai kini sunyi. Nelayan yang biasanya membawa tangkapan untuk dijual, kini hanya memeriksa kapal mereka. Toko dan restoran tutup, kulkas yang biasanya penuh dengan ikan segar kosong.
Hanya mereka yang tidak punya pilihan lain yang tetap tinggal. Wael Mroueh, seorang dokter berusia 49 tahun dan direktur Rumah Sakit Jabal Amel, memilih bertahan di Tyre meski keluarganya telah ia kirim ke tempat yang lebih aman.
Mroueh merasa bertanggung jawab untuk merawat para pasien yang terluka akibat perang, meski jumlah staf rumah sakit berkurang drastis. Hanya seperempat dokter dan sepertiga perawat yang masih bertahan.
Baca Juga: Israel Menyempurnakan Rencana untuk Serang Balik Iran, Netanyahu yang Memimpin
"Saya khawatir tidak akan melihat keluarga saya lagi karena perang yang sangat kejam ini," ujarnya sambil menangis.
Mroueh mengatakan serangan Israel, yang menargetkan pekerja medis dan fasilitas kesehatan, adalah upaya untuk menghancurkan moral penduduk Lebanon. Namun, ia menegaskan bahwa tanggung jawabnya sebagai dokter tetap kuat.
"Jika semua orang pergi, tidak akan ada yang tersisa," katanya. "Ini adalah bagian dari perlawanan kita."
Serangan Israel telah menghentikan operasi di 13 rumah sakit dan lebih dari 100 fasilitas kesehatan di Lebanon. Organisasi Kesehatan Dunia melaporkan bahwa lebih dari 100 petugas medis dan penyelamat tewas dalam konflik ini.
Baca Juga: Israel Tangkap Tujuh Warganya yang Dituduh Jadi Mata-mata Iran
Tyre kini menjadi simbol dari kehancuran yang meluas akibat perang, dengan warganya yang tersisa hanya berharap bahwa perdamaian segera datang.