Sumber: Reuters | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menggunakan senjata favoritnya dalam kebijakan luar negeri tarif perdagangan kali ini untuk menekan Rusia agar mengakhiri perang di Ukraina.
Dengan tenggat waktu hari Jumat bagi Moskow untuk menyepakati perdamaian, Trump mengancam akan memberlakukan tarif sekunder pada negara-negara pembeli minyak Rusia, sebuah langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
India Jadi Target Pertama, China Menyusul?
Sebagai langkah awal, pemerintahan Trump pada Rabu (6 Agustus) menerapkan tarif tambahan sebesar 25% terhadap barang-barang impor dari India, sebagai hukuman atas ketergantungan negara tersebut pada minyak Rusia. Ini menjadi sanksi finansial pertama terhadap Rusia di masa jabatan kedua Trump.
Baca Juga: Moody’s: Tarif 50% Trump Bisa Ganjal Ambisi Manufaktur India
Meskipun belum ada perintah resmi untuk China — importir minyak terbesar dari Rusia — seorang pejabat Gedung Putih mengatakan bahwa langkah serupa terhadap Beijing diperkirakan akan diumumkan pada Jumat.
Tekanan Ekonomi untuk Akhiri Perang Ukraina
Tarif sekunder ditujukan untuk memukul ekonomi Rusia, terutama karena minyak menjadi sumber utama pendanaan bagi perang Presiden Vladimir Putin di Ukraina. Sejak akhir 2022,
Barat telah memberlakukan batasan harga (price cap) terhadap ekspor minyak Rusia, yang memaksa Moskow mengalihkan penjualannya ke negara-negara seperti India dan China dengan harga diskon.
Namun, langkah Trump kali ini dapat mengganggu keseimbangan tersebut dan menaikkan harga minyak global, yang pada akhirnya bisa merugikan kepentingan ekonomi Amerika Serikat sendiri.
Dampak Politik dan Ekonomi di Dalam Negeri AS
Tarif terhadap negara pembeli minyak Rusia berpotensi menaikkan harga minyak dunia secara signifikan. Jika India menghentikan pembelian 1,7 juta barel per hari dari Rusia, itu setara dengan 2% pasokan global, yang menurut para analis dapat mendorong harga minyak mentah ke atas $80 per barel atau lebih.
Lonjakan harga energi ini dapat menimbulkan inflasi, melemahkan daya beli masyarakat, serta menciptakan masalah politik menjelang pemilu paruh waktu tahun depan di AS.
Baca Juga: Pejabat Rusia: Putin dan Trump Mungkin Bertemu Pekan Depan
Menurut analis dari JPMorgan, “mustahil” menjatuhkan sanksi terhadap minyak Rusia tanpa memicu kenaikan harga global. Meskipun Trump menyatakan bahwa produsen AS bisa meningkatkan produksi, para pakar menilai hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
Tantangan Diplomatik: India dan China Punya Kartu Tawar
Langkah ini juga bisa merusak upaya negosiasi dagang Trump dengan India dan China. Kedua negara memiliki pengaruh ekonomi besar terhadap AS. India merupakan pemasok utama obat generik dan bahan kimia farmasi, sementara China memegang kendali atas ekspor mineral penting yang krusial bagi industri teknologi dan manufaktur AS.
Kimberly Donovan dari Atlantic Council memperingatkan bahwa tarif sekunder bisa merusak hubungan dagang bilateral, mengingat China dan India mengklaim kepatuhan pada aturan yang sudah ada — yaitu pembatasan harga minyak Rusia — dan menyebut pembelian minyak sebagai urusan kedaulatan nasional.
Putin Bertahan, AS Hadapi Risiko Besar
Sementara itu, Presiden Putin disebut telah bersiap menghadapi tekanan ekonomi tambahan. Analis Eugene Rumer dari Carnegie Endowment menyebut bahwa “hampir tidak ada kemungkinan” Putin akan tunduk pada tekanan tarif dari Trump. Bahkan jika pendapatan Rusia menurun, tekanan domestik terhadap Putin masih tergolong minim.
Meski begitu, ada indikasi bahwa Moskow ingin menghindari tarif tambahan. Gedung Putih menyatakan bahwa pertemuan antara Trump dan Putin dapat terjadi secepatnya minggu depan, menyusul pertemuan utusan AS Steve Witkoff dengan pemimpin Rusia tersebut pada Rabu lalu.
Namun, banyak pengamat skeptis bahwa Moskow akan benar-benar mengubah arah kebijakan perang. Putin diyakini masih memiliki banyak cara untuk menghindari sanksi ekonomi, seperti yang telah dibuktikan selama beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Trump Desak CEO Intel Lip-Bu Tan Mundur, Dinilai Sarat Konflik dengan China
Risiko Global: Jalur Pipa CPC dan Perusahaan Minyak Barat
Rusia juga berpotensi membalas dengan menutup Jalur Pipa CPC dari Kazakhstan, yang selama ini menyalurkan hingga 1 juta barel per hari milik perusahaan minyak besar Barat seperti ExxonMobil, Chevron, Shell, dan TotalEnergies. Jika itu terjadi, krisis pasokan global dapat mengancam stabilitas energi internasional.
Cullen Hendrix dari Peterson Institute for International Economics menyebut bahwa kejutan harga energi adalah hal terakhir yang dibutuhkan dalam situasi ekonomi global saat ini, yang ditandai dengan pasar properti yang lesu dan pertumbuhan pekerjaan yang lemah.
“Dari semua langkah tarif yang pernah dilakukan Trump, ini mungkin yang paling resonan secara politik,” kata Hendrix. “Tapi juga yang paling berisiko tinggi.”