Reporter: Yuwono Triatmodjo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
TOKYO. Jepang kembali mencatatkan surplus perdagangan per Maret 2016. Penguatan nilai tukar yen membuat biaya impor menjadi lebih murah.
Bloomberg, Rabu (20/4) melaporkan, nilai impor Jepang per Maret 2016 turun sebesar 14,9% dibandingkan setahun lalu. Penurunan impor ini lebih besar dibandingkan penurunan impor bulan Februari 2016 yang turun 14,2%.
Saat bersamaan, angka ekspor Jepang juga terpangkas 6,8%. Kondisi ini pula yang menyebabkan surplus perdagangan Jepang mencapai ¥ 755 miliar. Ini setara US$ 6,9 miliar.
Meski demikian, jumlah surplus itu masih lebih rendah dari prediksi Bloomberg yang sebesar ¥ 834,6 miliar. Namun surplus kali ini masih menjadi yang terbesar sejak Oktober tahun 2010.
Impor Jepang terpangkas cukup besar disebabkan penurunan ongkos yang dikeluarkan Jepang untuk kebutuhan impor seiring penguatan nilai tukar yen. Sejak awal tahun hingga saat ini nilai tukar yen sudah menguat 10% terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Penguatan yen ini membalikkan tren dalam tiga tahun lalu yang telah menggerus nilai tukar yen sebesar 30%. Terlebih lagi, harga minyak dunia pada bulan Maret saja sudah anjlok 21% dari bulan yang sama tahun 2015.
Hal ini kian menyusutkan biaya impor energi yang harus dikeluarkan Jepang. Asal tahu saja, Negeri Samurai itu sangat tergantung terhadap pasokan impor energi, bagi semua jenis energi yang digunakan baik oleh industri maupun masyarakat.
Ini akibat reaktor nuklir Jepang yang belum kembali beroperasi secara optimal. Penurunan ekspor Jepang per Maret 2016 tersebut sudah berlangsung sejak enam bulan terakhir.
Sedangkan, penurunan nilai impor kali ini masuk bulan ke-15 secara berturut-turut. Waspadai ekspor Selain menurunkan anggaran dana bagi kebutuhan impor, penguatan nilai tukar yen dipercaya juga akan memangkas daya saing produk Jepang di luar negeri.
Itu sebabnya ekspor Jepang juga ikut tergerus, selain alasan pemulihan ekonomi global yang masih belum stabil. Kemerosotan nilai tukar yen akan merugikan perusahaan-perusahaan Jepang yang berorientasi ekspor.
"Ini dapat merusak rencana investasi mereka dan menunda kenaikan upah karyawan," tulis Marcel Thieliant, ekonom senior Jepang dari Capital Economics dalam catatan penelitiannya, seperti yang dikutip Bloomberg.
Sebagai catatan, data pertumbuhan penyaluran kredit per Maret 2016 di Jepang kini menjadi yang terendah sejak tiga tahun terakhir. Seperti diungkapkan Bank of Japan, Selasa (12/4), total penyaluran kredit, tidak termasuk trust fund per Maret 2016 tumbuh 2% dari setahun lalu.
Angka pertumbuhan ini melambat dari bulan Februari, yang naik sebanyak 2,2%. Suramnya prospek ekonomi Jepang juga telah mendorong investor asing menjual portofolio saham selama 13 minggu berturut-turut. Total jenderal penjualan itu mencapai US$ 46 miliar.