Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Test Test
Karir cemerlang John Fredriksen di dunia perkapalan tidak datang begitu saja. Ia harus hijrah ke Timur Tengah demi menggapai ambisinya menjadi pebisnis kapal tanker. Sebagai anak baru yang memulai usahanya sendiri di bisnis perkapalan, Fredriksen mendapat bermacam hambatan. Meski berasal dari keluarga miskin, Fredriksen sukses mengarungi bisnis perkapalan global dengan sukses. Dia berani mengambil risiko besar untuk keuntungan yang besar pula.
Lahir 10 Mei 1944 di Etterstad, sebelah Timur Oslo, Norwegia, John Fredriksen berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Ayahnya bekerja sebagai tukang las. Namun, itu tak menyurutkan cita-citanya merajai bisnis perkapalan yang muncul di benaknya setelah melihat maraknya kapal pengangkut minyak di Pelabuhan Oslo.
Fredriksen muda memulai karier magang di sebuah perusahaan makelar kapal. Perusahaan tersebut membawa muatan ikan dari Islandia ke Hamburg, Jerman. Setelah sempat tinggal sesaat di Kanada dan New York, ia pindah ke Beirut, Libanon di akhir 1960-an. Dia mengirim minyak mentah dari Arab Saudi dan Irak ke Eropa, untuk kemudian membawa kembali dalam bentuk minyak suling.
Sejak tinggal di Beirut, Fredriksen mulai berwirausaha di bidang perkapalan tanker pada usia 27 tahun. Ia mengembangkan sebuah firma perdagangan minyak. Ketika itulah Fredriksen memperoleh banyak pengetahuan tentang minyak. Ia mengetahui pergerakan minyak dan siapa yang akan mendapatkannya ketika pergerakan sedang melambat atau ketika pergerakan minyak sedang cepat. Dalam masa-masa itu, ia sering kali pulang-pergi dari Oslo ke Beirut untuk mengurus bisnisnya.
Latar belakang keluarganya yang sederhana membuatnya berbeda dengan pengusaha kapal sekaligus bangsawan, seperti Sigval Bergesen dan Anders August Jahre yang telah memiliki dinasti perkapalan minyak. Keberadaan mereka sudah mengakar sejak beberapa generasi. Para taipan asal Yunani dan Hongkong telah lebih dulu terjun di industri perkapalan.
Awalnya, Fredriksen dianggap sebagai orang luar. Selain karena pemain baru, ia juga merintis usaha sendiri tanpa keterlibatan keluarganya. Namun, justru hal ini membuatnya lebih tertantang untuk sukses.
Pada pertengahan 1970-an, harga minyak melambung karena embargo dari negara-negara Arab yang memprotes keberpihakan Barat terhadap Israel dalam perang Arab-Israel 1973. Konsumsi minyak di Eropa dan negara Barat lainnya pun menurun drastis.
Tangki-tangki kapal tanker banyak yang kosong dan banyak kapal tidak beroperasi. Fredriksen melihat ini sebagai peluang besar. Ia mulai menyewa kapal murah untuk kemudian membelinya.
Keberuntungan berpihak kepadanya selama perang Iran-Irak dekade 1980-an. Waktu itu, kapal tankernya mengangkut minyak dengan risiko tinggi tapi dengan keuntungan yang tinggi pula. Keberanian dan perhitungan yang tepat membuatnya berhasil.
Ketika perang Irak-Iran sedang berlangsung, ia tetap mengoperasikan kapal tankernya melewati Teluk Persia dari Pulau Kharg. Wilayah tersebut berulang kali menjadi target pasukan udara Saddam Hussein. Ia mengatakan, kapal tangkernya tiga kali dihantam misil pesawat Irak.
Dalam pergaulan dengan pebisnis Norwegia, Fredriksen lebih cenderung bersikap rendah hati. Di depan umum, ia tidak pernah memublikasikan kekayaannya ataupun mengungkapkan rencana-rencananya membeli berapa banyak kapal tanker di masa depan, seperti kebanyakan pebisnis kapal lainnya. "Saya tidak suka dipublikasikan soal kekayaan," tegasnya.
Ia juga sempat dikritik karena mengirimkan minyak ke Afrika Selatan selama masa embargo perdagangan era rezim apartheid. "Semua kapal Norwegia melakukannya," kata Fredriksen.
Pada 1986, Pemerintah Norwegia menuduhnya menggunakan izin angkut muatan orang untuk mengangkut minyak. Polisi kemudian menggeledah kantornya di Oslo. Setelah diperiksa, tuduhan tersebut tidak terbukti. Fredriksen menyatakan kasus ini merupakan kecemburuan atas kesuksesannya.
(Bersambung)