Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - Kebijakan tarif perdagangan yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS Donald Trump menimbulkan tekanan besar bagi korporasi global.
Laporan terbaru S&P Global menyebutkan, perusahaan-perusahaan di seluruh dunia akan menanggung tambahan biaya sekitar US$ 1,2 triliun tahun ini—beban yang sebagian besar berujung pada konsumen.
Melansir Fortune, Senin (20/10/2025) Analisis terhadap sekitar 9.000 perusahaan publik di seluruh dunia menunjukkan total biaya operasional korporasi naik menjadi US$ 53 triliun, jauh di atas proyeksi awal tahun.
Kenaikan ini dipicu bukan hanya oleh tarif impor, tetapi juga oleh peningkatan upah, harga energi, dan belanja modal, terutama untuk infrastruktur kecerdasan buatan (AI).
Baca Juga: Trump Punya Cara Rahasia untuk Hantam China di Titik Lemahnya
S&P mencatat margin keuntungan global menyusut tajam sekitar 0,64%, setara dengan hilangnya laba sekitar US$ 907 miliar.
Dari jumlah tersebut, sekitar dua pertiga atau US$ 592 miliar dialihkan ke konsumen dalam bentuk kenaikan harga, sementara sisanya US$ 315 miliar ditanggung perusahaan lewat penurunan laba.
Laporan itu juga menyoroti bahwa produksi riil menurun, menandakan berkurangnya volume barang yang dihasilkan perusahaan. Jika ditambah dengan biaya dari perusahaan non-publik dan yang didukung modal ventura, total beban tambahan mencapai US$ 1,2 triliun pada 2025.
Namun, perdebatan masih berlangsung mengenai siapa yang paling menanggung dampak tarif. Gubernur The Fed yang ditunjuk Trump, Christopher Waller, menilai efek tarif terhadap inflasi tergolong ringan dan lebih banyak dirasakan oleh rumah tangga berpenghasilan tinggi.
Baca Juga: Tak Ingin Perang Dagang Meledak Lagi, Trump Siap Bertemu Xi di Korea Selatan
Sebaliknya, analis TS Lombard menilai tarif berperan seperti “pajak regresif” yang paling membebani kelompok berpendapatan rendah dan menengah. Dario Perkins dari TS Lombard menggambarkan kondisi ini sebagai “yang kaya sedang berpesta, sementara yang miskin mengalami resesi.”
Pandangan serupa disampaikan pakar ekonomi internasional dari Universitas Quinnipiac, Mohammad Elahee.
Ia mengatakan, kelompok berpenghasilan tinggi relatif mampu menanggung kenaikan harga tanpa mengubah gaya hidup, sementara rumah tangga muda dan menengah paling terdampak karena pengeluaran mereka banyak untuk barang-barang yang terkena tarif seperti furnitur, pakaian, elektronik, dan peralatan rumah tangga.
Meski demikian, Gedung Putih menegaskan dampak terhadap konsumen bersifat sementara. Juru bicara Kush Desai menyatakan tarif akan mengoreksi ketergantungan Amerika terhadap sistem perdagangan yang dianggap merugikan, dan dalam jangka panjang beban tarif akan beralih ke eksportir asing.
Baca Juga: Trump Lunakkan Sikap ke China, Tarif 100% Dibatalkan
S&P menutup laporannya dengan peringatan bahwa estimasi US$ 1,2 triliun itu masih konservatif.
“Perusahaan kecil yang tidak tercakup dalam analisis biasanya lebih rentan, sehingga angka tersebut kemungkinan adalah batas bawah, bukan batas atas,” tulis laporan itu.