Reporter: Agung Jatmiko | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Protes keras mewarnai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terkait penetapan tarif impor baja sebesar 25% dan aluminium sebesar 10%. Kebijakan ini bisa dikatakan tidak terduga kemunculannya, meski wacana mengenai kenaikan tarif impor ini terus mengemuka sejak Trump dilantik menjadi presiden.
Banyak pihak justru tidak menduga kebijakan kenaikan tarif ini diambil begitu cepat, bahkan ketika penasihat ekonomi utama Trump, Gary Cohn mengancam akan mengundurkan diri apabila kebijakan ini diambil. Begitu pula dengan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, yang memperingatkan Trump bahwa kebijakan ini akan membuat pasar saham akan bergejolak.
Demikian pula denggan Menteri Pertahanan AS, James Mattis yang mengingatkan Trump bahwa kebijakan peningkatan tarif impor baja dan aluminium berpotensi merusak hubungan AS dengan sekutu-sekutunya.
Melihat ke belakang, sesungguhnya kebijakan tarif ini pernah diberlakukan oleh George W. Bush pada 2002 silam. Menariknya, Trump seakan tidak belajar bahwa kebijakan penetapan tarif kala itu justru membuat perusahaan-perusahaan AS yang menggunakan bahan baku baja, menderita kerugian. Sebanyak 200.000 lapangan pekerjaan hilang akibat penetapan tarif kala itu dan kebijakan tersebut dinyatakan sebagai kebijakan ilegal oleh organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO).
Padahal, kebijakan pasar bebas cenderung diinisiasi oleh presiden yang berasal dari partai republik. Tak ayal, kebijakan Trump menuai protes. Ketua parlemen AS, Paul Ryan mengatakan, sebaiknya Trump menunggu terlebih dahulu dan mempertimbangkan konsekuensi yang mungkin timbul dari pemberlakuan kebijakan kenaikan tarif ini.
Protes keras juga dilancarkan oleh senator Partai Republik, seperti Ben Sasse, yang merupakan senator dari negara bagian Nebraska dan John Thune dari negara bagian Dakota Selatan. Sasse bahkan menyatakan kebijakan pemberlakuan tarif semacam ini lebih pantas keluar dari presiden berhaluan kiri, ketimbang presiden dari Partai Republik.
Sementara, Thune mengkritik arah pemerintahan Trump yang tidak memiliki standar operasi. "Sepertinya setiap hari merupakan petualangan baru, karena tidak ada standar," ujar Thune kepada Washington Post.
Dukungan justru datang dari salah seorang perwakilan Partai Demokrat di Senat AS, yakni Sherrod Brown dari negara bagian Ohio. Menurutnya, dengan adanya kebijakan penetapan tarif ini bakal membebaskan pabrik baja di Ohio dari kondisi bangkrut.
Namun, Trump pun bukan tanpa sebab mengeluarkan kebijakan penetapan tarif impor baja dan aluminium ini. Kebijakan ini diambilnya setelah bertemu dengan perwakilan dari industri baja AS, yakni David Burritt dari U.S. Steel, John Ferriola dari Nucor Inc. dan Ward Timken dari Timken Steel Corp.
Dalam transkrip pertemuan dengar pendapat, yang diunggah oleh White House, ketiga perwakilan industri tersebut mengungkapkan kekhawatiran mereka akan masa depan industri baja AS, yang kian tergencet oleh era perdagangan bebas, yang menurut mereka tidak adil bagi AS.
Pendapat senada juga dilontarkan oleh Ferriola, yang menyatakan perusahaan baja asal AS akan mampu bersaing dengan perusahaan manapun di dunia jika diberi kesempatan. Penetapan tarif ini ia katakan menjadi salah satu kunci bagi industri baja AS untuk kembali menggeliat.
Trump pun menimpali berbagai kritik terkait kebijakan penetapan tarif, dengan mengatakan bahwa kebijakan yang ia ambil berhasil. Ia mencontohkan, beberapa bulan lalu, AS menetapkan tarif untuk mesin cuci impor sebesar 30%. "Sekarang sudah ada beberapa pabrik produksi mesin cuci berdiri di AS," ungkap Trump dalam sesi pertemuan dengan perwakilan industri baja tersebut.
Dalam sesi pertemuan tersebut, hanya Timken Steel yang mengungkapkan rencananya untuk ekspansi, meski sang CEO tidak menyebutkan secara spesifik rencana ekspansi. Namun, komitmen Timken untuk ekspansi setidaknya meyakinkan Trump untuk mengumumkan kebijakan penetapan tarif impor baja dan alumunium.
Meski sang presiden sangat percaya diri dengan kebijakannya, tetap saja kebijakan penetapan tarif ini mendapatkan label "blunder terbesar pemerintahan Trump" oleh Wall Street Journal.