Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Menyusul terpilihnya kembali Xi Jinping sebagai pemimpin Partai Komunis China bulan lalu, pencarian online tentang cara untuk meninggalkan China meledak. Di WeChat saja, lebih dari 60 juta orang mencari informasi tentang meninggalkan negara itu.
Seminggu kemudian, dengan kasus COVID-19 yang meningkat secara nasional, jumlah pencarian yang sama naik menjadi 80 juta dalam satu hari.
Melansir Fox Business, kebijakan nol-COVID China diyakini sebagai gagasan yang dikeluarkan Xi Jinping. Lebih buruk lagi, orang yang bertanggung jawab atas penanganan bencana penguncian Shanghai awal tahun ini, Li Qiang, ditunjuk menjadi perdana menteri China berikutnya. Namun, kritik terhadap kebijakan nol-COVID di negara itu terus meningkat.
"Saya tidak pernah tertarik dengan politik, tapi sejak awal pandemi, banyak sekali hal yang keterlaluan terjadi. Kegilaan COVID ada di mana-mana. Saya merasa mata saya telah terbuka, dan saya tidak tahan lagi," kata Wang, seorang warga dari Shanghai.
Wang, tidak menggunakan nama aslinya, mengatakan kepada Fox News Digital bahwa pilihannya terbatas.
"Saya ingin menolak, tapi saya tidak tahu caranya. Satu-satunya hal yang saya lakukan adalah menolak untuk mengikuti tes sesekali. Saya hanya ingin pergi dan menjalani kehidupan normal."
Baca Juga: Kasus Covid Merebak, Harga Minyak Dunia Kembali Loyo
Selain itu, dengan berita Beijing menghadapi wabah baru COVID-19 yang lebih serius, kemungkinan warga yang ingin keluar dari China akan terus meningkat.
Secara online, warga China terus menunjukkan kemarahan mereka. Mereka menuntut agar media yang dikendalikan negara melaporkan kebenaran tentang bagaimana kebijakan penguncian telah menghancurkan kehidupan orang-orang.
Selain itu, beberapa kota telah mengeluarkan permohonan maaf atas penanganan penguncian kota atau telah berjanji untuk menjaga penduduk dengan lebih baik ke depannya.
Seorang pria berusia 20-an, dengan nama samaran Mou, mengatakan dia juga ingin keluar.
“Belum lama ini, kakek rekan saya meninggal dunia pada usia 98 tahun. Dia ingin dikremasi, tetapi rumah duka menolak keluarga karena almarhum tidak memiliki tes COVID 48 jam yang valid. Percayakah Anda tentang hal itu? Semua kebijakan COVID ini sepertinya membuat orang lupa bagaimana menjadi manusia."
Baca Juga: Covid Melonjak di China, Mayoritas Bursa Saham Asia Melemah, Senin (21/11)