Sumber: Reuters | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - BEIJING. Presiden China Xi Jinping direncanakan mengunjungi Rusia pada tahun 2025, demikian laporan kantor berita milik pemerintah Rusia, RIA, yang mengutip pernyataan Duta Besar Rusia untuk Tiongkok pada Jumat pagi.
"Mengenai agenda bilateral yang spesifik, saya dapat mengatakan bahwa rencana yang lebih rinci tengah disusun secara aktif," ujar Duta Besar Igor Morgulov kepada RIA.
"Namun, yang dapat saya ungkapkan tanpa melanggar kerahasiaan adalah bahwa Presiden Republik Rakyat Tiongkok direncanakan berkunjung ke Rusia tahun depan," ucapnya.
Dalam konferensi pers rutin, Kementerian Luar Negeri China tidak mengonfirmasi rencana kunjungan tersebut, tetapi menegaskan bahwa kedua negara tetap menjaga komunikasi erat di semua tingkat.
Baca Juga: Xi Jinping akan Mengunjungi Rusia pada 2025, Bahas Apa?
Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya mengunjungi China pada Februari 2022, menjalin kemitraan yang disebut sebagai "tanpa batas" hanya beberapa hari sebelum Rusia mengirimkan puluhan ribu tentaranya ke Ukraina.
Putin kembali ke Beijing pada Mei lalu setelah memenangkan pemilu dengan suara telak, menyebut hubungan Rusia-China memasuki "era baru" yang fokus pada perlawanan terhadap kebijakan Amerika Serikat.
Xi Jinping, yang memperoleh masa jabatan ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya, disambut di Kremlin sebagai "sahabat karib" pada 2023.
Duta Besar Morgulov juga mengatakan bahwa China, yang tidak secara langsung mengutuk perang Rusia di Ukraina yang telah berlangsung selama 34 bulan, memahami akar konflik tersebut.
Menurutnya, Tiongkok menghadapi tantangan serupa karena tekanan AS dan sekutunya terhadap Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik terus meningkat.
Ia menambahkan bahwa NATO kini sedang menyusun rencana untuk memperluas infrastruktur militernya ke kawasan tersebut.
Baca Juga: Xi Jinping: Dunia dalam Kekacauan, Tetapi Persahabatan dengan Rusia Akan Bertahan
"Rusia dan Tiongkok harus merespons kebijakan AS secara bersama-sama," kata Morgulov.
"Di arena internasional, tanggung jawab negara kita adalah memberikan tindakan balasan ganda terhadap pencegahan ganda yang coba dilakukan Barat terhadap Rusia dan Tiongkok," ujar RIA mengutip pernyataannya.
Tiongkok, bersama Brasil, telah mengajukan rencana perdamaian untuk mengakhiri perang di Ukraina. Rencana tersebut menyerukan pembekuan garis pertempuran dan memperhitungkan kepentingan keamanan kedua belah pihak.
Rusia menyatakan dukungannya terhadap inisiatif tersebut, sementara Ukraina menolak karena menganggapnya lebih menguntungkan Moskow. Ukraina telah mengusulkan rencana perdamaian sendiri, termasuk permintaan keanggotaan NATO, dalam upaya mengakhiri konflik.
Saat ini, pasukan Rusia menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina dan telah mencatat kemajuan tercepat sejak awal perang.