Sumber: Harian KONTAN, 21 Januari 2012 | Editor: Catur Ari
Membesarkan nama produk baru memang tidak mudah. Termasuk bagi Kevin Plank yang membangun brand pakaian olah raga Under Armour dan kini mencatatkan kekayaan US$ 1,1 juta di usianya yang belum genap 40 tahun. Banyak pihak meragukan kekuatan bisnis milik Plank. Namun, berkat kecermatan Plank membaca pasar, Under Armour menemukan celah bersaing dan bertahan di jajaran produsen apparel besar seperti Nike dan Adidas.
Jika dihitung sejak pendirian di tahun 1996 lalu, Under Armour telah malang melintang di dunia apparel olah raga selama 15 tahun. Tak sebentar waktu bagi pendirinya, Kevin Plank mempertahankan mereknya di antara produsen terkenal.
Seperti dikutip di situs Sports.Espn, periode 1998-2005 merupakan tahun yang bersejarah bagi perjalanan bisnis Plank. Under Armour naik kelas menjadi perusahaan bertaraf internasional. Di tahun 1998, Under Armour resmi memasok pakaian olah raga untuk liga football nasional di Eropa.
Tahun berikutnya, Under Armour menjadi penyedia pakaian untuk film Any Given Sunday dan The Replacement buatan Warner Bros. Ini menjadi penanda, Under Armour tidak melulu menyasar olah raga dan bisa dipakai untuk semua aktivitas.
Tahun 2000, Under Armour memperbesar ekspansi bisnis, dengan menjadi pemasok utama pakaian olah raga di Liga Major Lacrosse, Major League Soccer, National Hockey League, USA Baseball dan Tim Ski AS. Hingga lima tahun ke depan, Under Armour telah memasok lebih dari seratus divisi 1A program sepak bola dan tiga puluh sepak bola NFL tim.
Di 2005, Under Armour melakukan gebrakan, dengan mengeluarkan 60 produk baru untuk menggarap pasar wanita yang belum maksimal tergarap. Peluncuran produk ini terinspirasi dari peluncuran sportbra mereka yang laku keras di pasar.
Under Armour juga merambah pasar sepatu, dengan mengeluarkan UA Streaker, mengadopsi teknologi sepatu untuk pelari. Produk ini tumbuh sekitar 12% setiap tahun. Meski saat ini menyumbang sepertiga dari total pendapatan Under Armour, segmen ini belum bisa bersanding dengan produsen sepatu olah raga besar. Pangsa pasar sepatu Under Armour hanya sekitar 1%. Bandingkan pangsa sepatu Nike yang mencapai 25%.
Selain pertumbuhan bisnis yang cepat rata-rata di atas 50% per tahun, fenomena Under Armour juga terlihat ketika melakukan intial public offering atau penawaran saham perdana (IPO) pada November 2005. Kala itu, Plank berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 100 juta. Hasilnya, Under Armour meraup US$ 121 juta. Di hari pertama perdagangannya, saham Under Armour sempat melonjak hingga 94% dari harga saham awal US$ 13 per saham.
Under Armour dianggap perusahaan yang beruntung karena menggarap ceruk pasar yang diabaikan para pemain besar dalam bisnis peralatan olah raga. Toh, hasil fenomenal ini tak langsung mendapatkan pengakuan dari para analis. Mereka khawatir, Under Armour tak akan terus tumbuh dengan kecepatan yang sama.
Keraguan juga tersirat terhadap niat Under Armour mengincar posisi Nike. Memang, penjualan tahunan Under Armour di tahun 2010 yang sekitar US$ 2,4 miliar, tak sebanding dengan penjualan Nike sebesar US$ 19 miliar.
Namun, Plank tak gentar menetapkan Nike sebagai patokan perkembangan bisnisnya. "Tahun lalu, Nike 25 kali lebih besar dari kami. Tahun ini, bisa 20 kali, dan tahun depan 17 kali," kata dia dalam Forbes.
Sampai dengan kuartal III tahun lalu, Under Armour mencetak laba bersih sekitar US$ 46 juta, dengan penjualan di atas US$ 500 juta. Under Armour juga kini memiliki sekitar 2.000 karyawan. Kesuksesan Under Armour juga didukung dengan kepiawaian Plank memilih teknologi informasi yang mendorong efisiensi penjualan dan manajemen gudang perusahaannya.
Di Januari ini, saham Under Armour di bursa Amerika mencapai harga tertinggi, US$ 77 per saham. Lebih tinggi 40% dibandingkan dengan Januari 2011 yang berada di kisaran US$ 55 per saham.
(Selesai)