Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Aksi jual yang melanda emerging market yang terjadi pada Selasa (4/9) memasuki babak baru. Perekonomian Afrika Selatan jatuh ke jurang resesi. Sementara, mata uang Indonesia jatuh ke rekor terendahnya dan bergabung dengan mata uang Turki dan Argentina. Kondisi ini memicu kecemasan baru bahwa risiko guncangan ekonomi kali ini terlalu besar untuk diabaikan.
Asal tahu saja, mengutip data Bloomberg, indeks MSCI Inc mata uang kembali jatuh untuk kelima kalinya dalam enam hari dan berada di posisi penutupan terendahnya dalam setahun terakhir. Mata uang rand Afrika Selatan mencatatkan pelemahan terbesar global seiring adanya data yang menunjukkan perekonomian mereka jatuh ke jurang resesi pada kuartal lalu.
Kemudian, lira Turki terus melemah seiring kecemasan bahwa bank sentral akan kembali mengecewakan investor pada pertemuan pembahasan suku bunga acuan pada pekan depan. Belum lagi peso Argentina yang anjlok ke level rekor terendah. Pun demikian dengan rupiah Indonesia yang keok ke posisi terendahnya dalam dua dekade terakhir kendati bank sentral sudah habis-habisan melakukan intervensi untuk memproteksi rupiah.
Sebaliknya, dollar AS kian perkasa selama empat hari beruntun karena adanya ancaman dari Presiden AS Donald Trump yang akan terus melanjutkan perang dagang dengan China dengan mengumumkan penerapan tarif baru senilai US$ 200 miliar terhadap produk-produk tambahan China yang akan diberlakukan Kamis (6/9) besok.
Investor juga mencemaskan isu lainnya, yakni perundingan perdagangan AS-Kanada pada Rabu (5/9). Sebelumnya, perundingan kedua negara terkait North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang dilakukan akhir pekan lalu menemui jalan buntu. Trump mengatakan kepada Kongres dia akan menandatangani kesepakatan perdagangan bilateral dengan Meksiko.
"Kita memiliki isu terkait NAFTA dan perang dagang China. Ada juga badai di Teluk Meksiko. Apa yang mengarahkan pasar adalah minimnya arah ke satu jalan atau jalan lainnya," jelas Robert Pavlick, chief investment stragist SlateStone Wealth LLC di New York seperti yang dikutip Reuters.
Sementara, bersamaan dengan kenaikan suku bunga AS, kecemasan investor terhadap risiko di emerging market terus meningkat. Termasuk guncangan ekonomi Argentina, defisit kembar Turki, pemilu Brazil, dan reformasi pajak tanah Afrika Selatan.
"Dollar menang secara default. Tidak banyak yang membuat saya berpikir bahwa dollar seharusnya naik, tetapi ada banyak hal yang membuat saya gugup terhadap mata uang lainnya. Dollar sangat kuat dan kurang mendukung suku bunga, tetapi mata uang lainnya lebih buruk," jelas Kit Juckes, global strategist Societe Generale SA seperti yang dikutip dari Bloomberg.
Sekadar tambahan informasi, mengacu ke data Reuters, indeks dollar AS naik 0,27% dengan euro turun 0,32% menjadi US$ 1,1586.
Dollar Kanada melemah ke level terendah dalam enam pekan terakhir sebesar 0,64% di level 1,32 per dollar AS.
Dollar AS menguat 3,3% terhadap rand Afrika Selatan dan menguat 1% terhadap lira Turki. Peso Meksiko juga melemah terhadap dollar.
"Kita hanya bisa menanti sesuatu hal yang bisa membalikkan sentimen emerging market karena valuasinya sudah sangat menarik. Hanya saja penurunannya terbilang pelan saat ini," jelas Standard Life Aberdeen EM portfolio manager Viktor Szabo seperti yang dikutip Reuters.