Reporter: Rika Theo, Reuters |
PALERMO. Kelompok kriminal terorganisir Italia alias mafia makin berpengaruh pada ekonomi Italia selama krisis berlangsung. Mafia kini menjadi bank terbesar di negara itu menurut laporan dari grup antikriminal SOS Impresa.
Laporan tersebut menyatakan mafia menghasilkan turnover transaksi tahunan sebanyak 140 miliar euro atau setara US$ 178,89 miliar. Bisnis kriminal itu juga mencetak laba hingga 100 miliar euro.
"Dengan likuiditas 65 miliar euro, mafia adalah bank nomor satu Italia," kata grup yang menentang pemerasan atas usaha kecil di Italia itu.
Kelompok kriminal terorganisir seperti Sicilian Cosa Nostra, Naples Camorra, atau Calabrian 'Ndrangheta telah lama mengekang ekonomi Italia. Bahkan mereka menghasilkan laba setara 7% perekonomian negara itu.
Kelompok mafia ini terutama menikmati pendapatan besar dari pinjaman berbunga tinggi yang mereka berikan, juga penyelundupan obat-obatan, penyelundupan senjata, prostitusi, perjudian, dan pemerasan.
"Lingkungan klasik atau lintah darat jalanan sudah berkurang, memberi kesempatan pada lintah darat terorganisir yang berhubungan dengan lingkaran profesional, serta diam-diam melibatkan profesional di level atas," ujar laporan SOS Impresa.
Laporan tersebut memperkirakan ada sekitar 200.000 perusahaan yang terjerat dalam pinjaman berbunga mencekik dari mafia. Sebagai akibatnya, puluhan ribu orang telah kehilangan pekerjaannya.
Pemerasan berkerah putih
Menurut laporan itu, saat ini gangster yang membagi-bagikan duit di bar sudah nyaris tak ada. Mereka digantikan oleh bankir, pengacara, dan notaris bereputasi tinggi.
"Ini adalah pemerasan dengan penampilan bersih. Melalui profesi mereka, mereka paham mekanisme legal pasar uang dan mereka biasanya sangat tahu posisi finansial korban mereka," ujar laporan SOS Impresa.
Kelompok mafia ini beroleh kesempatan ketika krisis karena usaha-usaha kecil makin sulit mendapat pinjaman dari bank. Alhasil, mereka tergoda meminjam dari mafia.
Tipikal korban mafia lain misalnya penjaga toko usia pertengahan dan pebisnis kecil yang kesulitan mencari pekerjaan dan mau melakukan apa pun agar terhindar dari kebangkrutan.
"Mereka biasanya adalah orang-orang di sektor ritel seperti makanan, penjual sayuran, pakaian, sepatu, toko bunga atau furnitur. Inilah kelompok yang membayar harga mahal dari krisis ekonomi," ujar laporan itu,