Sumber: Bloomberg | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
TOKYO. Pada kuartal lalu, perekonomian Jepang mengalami kontraksi terhebat sejak 1974 silam. Hal ini terjadi seiring dengan melorotnya tingkat ekspor dan pembelanjaan bisnis di negara tersebut.
Pada kuartal yang berakhir 31 Maret lalu, Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang mengalami penurunan sebesar 12,1%. Meski demikian, angka tersebut masih lebih rendah dibanding prediksi para analis yang mematok penurunan sebesar 13,4%.
Beberapa hal yang menyebabkan kontraksi ini antara lain adanya penurunan tingkat produksi manufaktur dan pengiriman barang-barang ke luar negeri pada Januari lalu. Selain itu, kondisi ini diperparah dengan adanya rencana Toyota Motor Corp yang bakal memangkas separuh tingkat produksinya pada kuartal ini. Selain itu, perusahaan real estate Pacific Holdings Co juga mengajukan kepailitan pada minggu ini dan menjadi perusahaan terbuka ke-12 yang bangkrut pada tahun ini.
“Perekonomian Jepang melorot tajam. Meskipun adanya revisi angka PDB, namun hal itu tidak mengubah pandangan kami,” ujar Kyohei Morita. Chief Economist Barclays Capital di Tokyo.
Saat ini, pemerintahan Jepang juga berupaya keras untuk memulihkan kembali perekonomian. Salah satunya dengan membuka kembali keran-keran pengucuran kredit. Sebab, masalah ini telah menyebabkan kebangkrutan pada sejumlah perusahaan dalam sembilan bulan terakhir.
The Financial Services Agency pada minggu ini mengatakan pihaknya akan segera mengaudit bank-bank pada bulan depan untuk memastikan pengucuran kredit. Pemerintah Jepang memang sudah menawarkan bantuannya untuk membeli kepemilikan saham dari sejumlah bank dan mengakuisisi saham para debitur untuk meningkatkan kembali penyaluran pinjaman. Pemerintah juga sudah berkoordinasi dengan sejumlah badan pengelolaan dana milik pemerintah untuk membantu sejumlah perusahaan yang sedang mengalami kesulitan likuiditas.