kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Lama terasing, Myanmar kini tarik investasi asing


Sabtu, 08 Juni 2013 / 05:11 WIB
Lama terasing, Myanmar kini tarik investasi asing
ILUSTRASI. Penyanyi Raisa berduet dengan penyanyi Korea Sam Kim dalam lagu yang berjudul Someday.


Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Sandy Baskoro

NAY PYI TAW. Seusai lepas dari pemerintahan otoriter, kini Myanmar mulai terbuka. Negara yang dulu bernama Burma ini menawarkan segala potensi ekonomi, mulai dari manufaktur, ritel, pariwisata, hingga sektor telekomunikasi.

Modal Myanmar memang cukup memadai. Pertumbuhan ekonomi mulai terjaga, pasar yang cukup besar dengan populasi sebagian besar masyarakat di usia produktif.Dengan modal itu, perusahaan besar seperti Unilever dan Coca Cola pun tertarik.

Forum Ekonomi Dunia untuk Asia Timur ke-22 yang berlangsung di Nay Pyi Taw, ibukota negara tersebut, menjadi momentum terbaik bagi kebangkitan perekonomian Myanmar. Di forum yang berlangsung selama tiga hari itu, 5 Juni - 7 Juni 2013, hadir lebih dari 900 peserta, termasuk lebih dari 500 pemimpin bisnis dari 55 negara.

Setelah rezim otoriter berakhir pada 2011 lalu, Myanmar memulai lembaran baru dan terus membuka diri. Upaya keras pemerintah Myanmar tampaknya tidak sia-sia. Belakangan ini, sejumlah perusahaan global mulai tertarik membenamkan investasinya di negara berpenduduk lebih dari 60 juta jiwa tersebut.

Unilever, perusahaan consumer goods terbesar kedua di dunia, siap memproduksi penyedap makanan di Myanmar. Unilever mengalokasikan dana senilai US$ 656 juta dalam 10 tahun mendatang. Perusahaan ini telah memasarkan produknya di Myanmar melalui pihak ketiga pada 2010. Ini menjadi pintu masuk bagi Unilever untuk memasarkan sejumlah produk seperti penyedap masakan, sampo dan sejenisnya.

"Ini adalah pasar yang besar, cepat tumbuh dengan dukungan penduduk berusia muda," ujar Chief Operating Officer Unilever, Harish Manwani, seperti dikutip Bloomberg, Kamis (6/6) lalu.

Unilever tidak sendirian. Sebelumnya, Coca-Cola Co dan Ford Motor Co juga memulai operasi di Myanmar, setelah keran investasi asing mulai dibuka pada tahun lalu.

Coca Cola baru saja membuka pabrik di Myanmar dengan menginvestasikan dana US$ 200 juta dan diperkirakan mampu membuka ribuan lapangan kerja baru di negara tersebut.

Produsen minuman ringan ini kembali membuka bisnisnya di Myanmar, setelah sebelumnya Coca-Cola meninggalkan negara ini selama 60 tahun. Peresmian pabrik pertama dilakukan di pinggiran kota Yangon. Coca Cola berpotensi menyerap tenaga kerja secara langsung sebanyak 2.500 karyawan, serta 20.000 orang pada rantai suplai di seluruh negara ini.

Selain sektor consumer goods, potensi ekonomi Myanmar juga terlihat dari bisnis pariwisata. AirAsia Bhd adalah salah satu perusahaan yang mengintip peluang pariwisata Myanmar. Maskapai penerbangan berbiaya murah terbesar di Asia Tenggara ini memproyeksikan bisa mengangkut 20%-30% wisatawan ke Myanmar.

Tony Fernandes, CEO AirAsia menyebutkan, maskapai ini menargetkan bisa mengangkut 500.000 penumpang ke Myanmar selama 2013. Jumlah pelancong Myanmar diperkirakan mencapai 3 juta orang.

Investor juga melirik sektor telekomunikasi di Myanmar. Pemerintah setempat menawarkan dua lisensi layanan selular. Potensi bisnis telekomunikasi di Myanmar memang cukup besar. Maklum, dari 60 juta penduduk, hanya 9% penduduk yang memiliki telepon seluler dan cuma 1% yang menggunakan telepon tetap.

Di era yang sudah terbuka, investor pun tak ragu-ragu masuk ke Myanmar.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×