Sumber: Fortune | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Meta Platforms mengungkapkan upaya peretasan yang dilakukan oleh kelompok peretas Iran terhadap akun WhatsApp milik staf dari administrasi Presiden Joe Biden dan mantan Presiden Donald Trump.
Insiden ini menambah daftar panjang serangan siber yang dilakukan oleh Iran sebagai bagian dari strategi untuk mengganggu proses demokrasi di Amerika Serikat dan memperburuk hubungan antara Washington dan Teheran.
Latar Belakang Upaya Peretasan oleh Kelompok Iran
Kelompok peretas yang dipercaya merupakan bagian dari jaringan peretas Iran telah diketahui sebelumnya mencoba menyusupi kampanye presiden dari kedua belah pihak, baik Demokrat maupun Republik.
Dalam kasus terbaru ini, kelompok tersebut menargetkan akun WhatsApp milik individu di Amerika Serikat, Inggris, dan Timur Tengah, termasuk pejabat politik dan diplomatik yang terkait dengan administrasi Trump dan Biden.
Peretas tersebut menyamar sebagai agen dukungan teknis dari perusahaan besar seperti Microsoft dan Google. Mereka mengirimkan pesan mencurigakan melalui WhatsApp dengan maksud untuk memperoleh akses tidak sah ke akun-akun target. Beruntung, sejumlah kecil akun berhasil diblokir oleh Meta sebelum upaya peretasan ini mencapai tujuannya.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Sebut Media Sosial di Ponsel bisa Membuat Anti Sosial
Respons Meta terhadap Ancaman Peretasan
Meta mengidentifikasi aktivitas mencurigakan ini setelah menerima laporan dari individu yang menerima pesan tersebut. Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, Meta mengaitkan aktivitas ini dengan jaringan yang sama yang sebelumnya dituduh melakukan peretasan terhadap kampanye Trump.
Dalam pernyataan resminya, Meta menyatakan bahwa meskipun belum ada bukti bahwa akun-akun WhatsApp yang menjadi target berhasil dikompromikan, mereka tetap memutuskan untuk mengambil tindakan pencegahan dengan memblokir akun-akun tersebut dan berbagi informasi dengan penegak hukum serta rekan-rekan di industri teknologi.
Tujuan Iran dalam Melakukan Serangan Siber
Pejabat intelijen AS mengindikasikan bahwa penggunaan serangan siber dan disinformasi oleh Iran semakin agresif. Terdapat beberapa motif utama di balik tindakan Iran ini, di antaranya adalah:
-
Mengacaukan dan Memecah Belah Pemilih: Iran berupaya untuk menciptakan kebingungan dan polarisasi di kalangan pemilih Amerika dengan tujuan untuk merusak kepercayaan terhadap proses demokrasi di AS.
-
Mengurangi Dukungan terhadap Israel: Iran berusaha untuk mengikis dukungan AS terhadap Israel melalui serangan siber yang bertujuan untuk menyebarkan propaganda anti-Israel.
-
Menentang Kandidat yang Tidak Diinginkan: Iran berupaya mengganggu kandidat yang dipandang akan meningkatkan ketegangan antara Washington dan Teheran, terutama dalam konteks hubungan bilateral yang sensitif.
Baca Juga: Mark Zuckerberg Jadi Orang Terkaya Ke-3 Dunia, Siapa di Posisi 1 dan 2?
Implikasi dan Respons dari Pemerintah AS
Pemerintah AS, khususnya melalui FBI, telah menanggapi ancaman ini dengan serius. Mereka menekankan bahwa upaya peretasan ini merupakan bagian dari upaya yang lebih luas oleh Iran untuk campur tangan dalam pemilihan presiden AS.
Dalam beberapa bulan terakhir, Direktur Intelijen Nasional Avril Haines juga menyebut bahwa pemerintah Iran memberikan dukungan rahasia kepada aksi protes di Amerika Serikat, khususnya yang berkaitan dengan konflik Israel-Hamas di Gaza.
Tindakan Iran ini tidak dapat dipisahkan dari konteks hubungan AS-Iran yang semakin memburuk setelah pemerintahan Trump memutuskan untuk keluar dari kesepakatan nuklir Iran, menerapkan kembali sanksi ekonomi yang berat, dan memerintahkan pembunuhan terhadap Jenderal Qassem Soleimani.
Iran telah bersumpah untuk membalas tindakan tersebut, dan serangan siber ini dapat dilihat sebagai salah satu bentuk balas dendam yang terus berlanjut.