Sumber: DW.com | Editor: Syamsul Azhar
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bayang-bayang krisis menyebar di perekonomian Jerman, seiring menyusutnya permintaan karena turunnya daya beli konsumen di tengah inflasi. Pabrikan mobil di Jerman pun menghadapi hambatan yang diperparah oleh meningkatnya masalah struktural di sektor industri yang dulunya menjadi andalan.
Peralihan ke mobilitas listrik dan sistem pengemudi otonom telah menyebabkan pembengkakan biaya produksi. Sementara dana yang diperlukan untuk menutupinya sebagian besar masih berasal dari penjualan kendaraan berbahan bakar fosil. Parahnya, penjualan pun semakin tidak pasti, karena secara politis mobil berbahan bakar fosil semacam ini sudah tidak lagi populer.
Angka penjualan pada paruh pertama tahun 2023 untuk perusahaan seperti Volkswagen (VW), Mercedes Benz, dan BMW memang dinilai masih memuaskan. Semuanya melaporkan peningkatan pendapatan dan keuntungan.
Baca Juga: China Stop Ekspor Bahan Baku Semikonduktor, Bagaimana Nasib Industri Otomotif RI?
Namun, outlook untuk waktu yang tersisa sepanjang tahun dinilai mengecewakan ekspektasi investor dan pemegang saham. Inflasi dan kenaikan suku bunga punya efek menekan, dan permintaan kendaraan baru berkurang.
Hildegard Müller, Presiden Asosiasi Industri Otomotif Jerman, mencatat bahwa angka penjualan masih lebih dari seperlima lebih rendah dari tingkat penjualan sebelum pandemi.
Pasar otomotif China sedang booming
Sementara itu China, pasar otomotif terbesar dan terpenting di dunia, berkembang pesat di sektor mobil listrik. Pabrikan China juga membuat kemajuan pesat di bidang teknologi dengan menandingi Tesla yang selama ini memimpin di industri mobil listrik.
Pembeli mobil di China, baik dari kelas menengah maupun kelas atas, semakin menyukai merek dalam negeri mereka. Produsen mobil terbesar China, BYD, menjual 29% lebih banyak mobil listrik dibandingkan Tesla pada paruh pertama tahun ini, menurut angka terbaru dari Asosiasi Kendaraan Penumpang China.
"Disrupsi tengah terjadi di pasar ini," Ralf Brandstätter dari jajaran direksi VW China mengatakan kepada wartawan baru-baru ini. Ia pun terpaksa mengakui bahwa penjualan VW di China dikalahkan oleh BYD pada kuartal pertama. Dibandingkan VW, BYD memasarkan kendaraan listrik hampir dua puluh kali lebih banyak ke pelanggan mereka di China.
Strategi lama pabrikan Jerman kurang diminati
Merek high-end VW, yakni Porsche dan Audi, juga merasakan tekanan pasar yang meningkat. Demikian juga dengan dua produsen mobil mewah Jerman lainnya, Mercedes-Benz dan BMW.
Perusahaan konsultan industri otomotif Berylls mengklaim dalam studi pasar baru-baru ini bahwa dunia melihat perubahan di China di segmen premium. Dalam persaingan dengan pabrikan mewah tradisional dari Jerman, China, "menyalip di jalur cepat," kata studi tersebut.
Selama beberapa dekade, produsen mobil Jerman mendominasi pasar China dengan menggunakan taktik penjualan yang disebut trickle down strategy. Produsen mobil secara terpisah menjual teknologi yang telah mereka kembangkan sebagai fitur tambahan opsional kepada konsumen mereka. Praktik ini terus berlaku dan mereka terus menjualnya dengan harga premium, sampai pesaing mereka menyusul.
Baca Juga: Merek Mobil Listrik China Pertama Kalinya Rajai Pasar di Negara Sendiri
"Saat China telah maju ke garis depan inovasi, pelanggan di China tidak lagi punya kesabaran untuk menuruti trickle down strategy, atau kemauan untuk membayar ekstra untuk fitur terbaru," tulis Willy Wang, direktur pelaksana Berylls China.
Fitur digital jadi daya jual utama
Kendaraan buatan China semakin populer utamanya karena fitur-fitur digital seperti bantuan canggih dan sistem hiburan yang tersedia. Penyediaan ini menjadi populer mengingat situasi lalu lintas yang padat di jalan-jalan di China.
Penelitian tersebut juga mengungkapkan, pelanggan menganggap bahwa dalam hal-hal seperti kenyamanan dan kualitas, mobil buatan China dianggap hampir sama atau bahkan sedikit lebih baik daripada buatan produsen mobil yang sudah mapan.
"Industri otomotif Jerman kemungkinan tidak akan memainkan peran dominan yang sama di sektor mobil di China seperti yang terjadi dalam 20 tahun terakhir," kata Gregor Sebastian, pakar pasar China dari Merics Institute.
Baca Juga: Mercedes-Benz Rampungkan Perakitan Perdana The New GLC di Pabrik Wanaherang
Kini, sekitar 80% dari semua kendaraan bertenaga baterai yang dikemudikan di China adalah buatan produsen dalam negeri. Hanya Tesla yang masih bertengger di antara sepuluh penjual teratas, merek Jerman tidak lagi ada di daftar itu.
Sementara untuk pasar mobil secara keseluruhan di China, termasuk juga untuk kendaraan dengan mesin pembakaran internal, untuk pertama kalinya pada tahun ini merek-merek China juga diprediksi akan terjual lebih banyak daripada merek asing, dengan pangsa pasar 51%. Pangsa ini diproyeksikan akan meningkat menjadi 65% pada tahun 2030, kata konsultan manajemen, AlixPartners, dalam laporan Global Automotive Outlook untuk tahun 2023.
China rajai ekspor otomotif
Laporan tersebut memperkirakan bahwa di Eropa penjualan mobil akan tetap sekitar 15% di bawah tingkat penjualan sebelum pandemi. Ini kemungkinan akan jadi prospek jangka panjang. Pabrikan Eropa juga akan semakin tertekan oleh pabrikan kendaraan listrik China di pasar dalam negeri.
Pada kuartal pertama 2023, China juga menggeser posisi Jepang sebagai juara ekspor otomotif dunia. Pada tahun 2020, China masih berada di urutan ke-6. Negara ini tidak hanya maju di bidang pasar penjualan, tapi juga sebagai eksportir, dan sebagai lokasi produksi.
"China sedang dalam perjalanan menjadi negara adidaya otomotif," kata pakar otomotif AlixPartners, Fabian Piontek, kepada DW. Pabrikan Eropa semakin kini tengah mempertahankan pangsa pasar di dalam negeri. "Era rekor keuntungan produsen mobil Jerman akan segera berakhir," ujarnya.
(ae/hp)
Artikel ini telah tayang di DW.com dengan judul "Otomotif Cina Bangkit, Penjualan Salip Merek Besar Jerman", Klik untuk baca: https://www.dw.com/id/otomotif-cina-bangkit-penjualan-salip-merek-besar-jerman/a-66458819?maca=ind-VAS_IND_Sample_News-26987-xml-media
