Sumber: Al Jazeera,Reuters | Editor: Prihastomo Wahyu Widodo
KONTAN.CO.ID - TEHERAN. Seorang penasihat senior pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, pada hari Minggu (17/7), mengatakan bahwa negaranya saat ini secara teknis telah memiliki kemampuan untuk membuat bom nuklir.
Dalam wawancaranya di kanal televisi Al Jazeera, Kamal Kharrazi mengatakan untuk saat ini Iran masih belum memutuskan apakah akan membuat bom nuklir tersebut.
"Dalam beberapa hari kami dapat memperkaya uranium hingga 60%, dan kami dapat dengan mudah memproduksi uranium dengan kadar 90%. Iran, secara teknis mampu memproduksi bom nuklir, tapi belum ada keputusan negara untuk membuatnya," ungkap Kharrazi, seperti dikutip Reuters.
Di bawah kesepakatan nuklir 2015, Iran diizinkan untuk memperkaya uranium hingga level 3,67%. Kemampuan Iran untuk memperkayanya hingga 60% jelas sudah jauh di atas ambang batas yang ditentukan.
Baca Juga: Iran Resmi Matikan Kamera Pengawas Nuklir PBB, Pengayaan Nuklir akan Ditingkatkan
Uranium dengan tingkat kemurnian 90%, yang diklaim mampu diproduksi Iran, sudah cocok untuk membuat bom nuklir.
Pernyataan pejabat Iran soal pembuatan bom nuklir ini juga sempat keluar tahun lalu. Saat itu, Menteri Intelijen Iran mengatakan bahwa tekanan dari Barat bisa memaksa Iran untuk mengupayakan senjata nuklir.
Pengembangan senjata nuklir Iran sebenarnya dilarang oleh Khamenei melalui fatwa atau dekrit agama yang dikeluarkan pada awal periode 2000-an.
Sejauh ini Iran mengaku memurnikan uranium hanya untuk keperluan energi sipil. Iran mengatakan pelanggarannya bisa saja dihentikan jika AS mencabut sanksi dan bergabung kembali dengan kesepakatan nuklir.
Baca Juga: Permintaan Biden Disetujui DPR, Anggaran Pertahanan AS Berpotensi Naik Lagi
Kesepakatan nuklir Iran sebenarnya telah dihidupkan kembali dan disepakati dasar-dasarnya pada bulan Maret lalu. Namun, pembicaraan lanjutan terhenti karena Iran mendesak AS agar mau memberikan jaminan bahwa tidak ada presiden mereka yang keluar dari kesepakatan tersebut seperti Donald Trump.
Terkait permintaan tersebut, Joe Biden mengaku tidak bisa memberikan jaminan karena menilai kesepakatan nuklir itu adalah pemahaman politik yang tidak mengikat, bukan perjanjian yang mengikat secara hukum.
"AS belum memberikan jaminan untuk melestarikan kesepakatan nuklir. Ini bisa merusak kemungkinan kesepakatan apapun," pungkas Kharrazi.