Sumber: WSJ, Reuters, Financial Times | Editor: Test Test
WASHINGTON. Perang nilai tukar yang terjadi beberapa bulan terakhir membuat posisi China semakin terdesak. Pasalnya, bukan hanya Amerika Serikat (AS) yang menuding China sengaja membiarkan nilai tukar yuan melemah terhadap mata uang utama dunia, khususnya dolar AS. Kini, Uni Eropa, Bank Dunia, dan Dana Moneter Internasional (IMF) ikut-ikutan mendesak China untuk segera memperkuat nilai tukar yuan.
Presiden Bank Dunia Robert Zoellick mengaku, tidak mudah bagi China untuk memperkuat nilai tukarnya. Tetapi, upaya tersebut harus dilakukan untuk memecahkan ketidakseimbangan dalam perdagangan global.
"Nilai tukar yuan masih di bawah nilai yang wajar," kata Karel De Gucht, Komisaris Perdagangan Eropa, Kamis (7/10). Gucht menanggapi pernyataan Perdana Menteri China Wen Jiabao yang meminta Uni Eropa menghentikan tekanan terhadap Beijing untuk memperkuat yuan.
Amadeu Altafaj, juru bicara Komisi Uni Eropa, menambahkan, Uni Eropa menilai euro harus menanggung beban yang terlalu berat akibat nilai tukar yuan yang terlalu murah. "Kami akan menegaskan masalah ini kepada China dan AS," kata Altafaj.
Posisi China semakin tidak menguntungkan. Ketika China berusaha mencari dukungan dari lembaga keuangan internasional, seperti IMF, Menteri Keuangan AS Timothy Geithner malah memanfaatkan momentum ini untuk menyerang China. Menurutnya, sebagai anggota IMF, China harus rela memperkuat nilai tukar yuan demi kepentingan pasar. "Ini adalah kewajiban bagi semua anggota IMF," ujar Geithner.
Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn sepakat. "Jika Anda ingin mendapatkan porsi yang lebih besar di IMF, Anda memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap sistem," kata Strauss-Khan, Kamis (7/10).
China tolak politisasi yuan
IMF boleh saja berkata demikian. Namun, posisi China di IMF sejatinya sangat kuat. China memiliki 24 anggota yang duduk di dewan IMF dan mantan pejabat bank sentral China saat ini duduk sebagai pejabat penting di IMF. Jadi, kalaupun dilakukan pemungutan suara di IMF, suara China cukup lantang.
Dalam konferensi bisnis China dengan negara-negara Uni Eropa di Brussel, Rabu (6/10) lalu, Wen mengaku China tidak bisa memperkuat nilai tukarnya secara drastis. Sekadar informasi, AS meminta China memperkuat nilai tukar yuan sebesar 20% - 40% dari posisi saat ini. Maklum, saat ini AS mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sebesar US$ 145 miliar.
Kebijakan tersebut bisa membuat perusahaan-perusahaan di China bangkrut. Dampaknya, bakal banyak rakyat China yang kehilangan pekerjaannya dan perekonomian China bisa runtuh. "Isu perdagangan ini seharusnya tidak dipolitisasi. Ini hanya masalah struktur perdagangan," kata Wen.
Menurutnya, jika perekonomian China hancur, dunia tidak akan mendapatkan manfaat apapun. Sebab, saat ini perekonomian China menyumbang 50% dari perekonomian dunia. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada ekonomi dunia jika China dibiarkan jatuh.
Perseteruan Beijing dan Washington ini belum berakhir. Keduabelah pihak memiliki pengaruh yang sama kuat. China bisa menolak. Tetapi, AS akan mencari jalan lain untuk mencapai tujuannya. AS akan mencoba membujuk negara-negara Asia untuk memperkuat nilai tukarnya. Siapa tahu, China lantas bakal mengikuti negara-negara Asia itu.