Reporter: Dessy Rosalina | Editor: Sanny Cicilia
LONDON. Harga komoditas yang merosot membuat perusahaan pertambangan pusing. Sebab, perusahaan memiliki kewajiban membayar dividen selangit kepada investor. Saat rapor kinerja merah, perusahaan berniat memburu utang demi memenuhi kewajiban dividen.
BHP Billiton Ltd dan Rio Tinto Group merupakan dua raksasa pertambangan yang terpaksa berutang untuk membayar dividen. Richard Knights, analis LiberumCapital menghitung, mengacu harga minyak saat ini, BHP kekurangan dana US$ 5,4 miliar dari total estimasi dividen sebesar US$ 6,6 miliar.
Tak jauh berbeda, Rio Tinto kekurangan bujet US$ 1 miliar agar bisa memenuhi kewajiban dividen tahun 2015. "Karena langkah buyback saham tidak akan menyenangkan investor," ujar Knights seperti dikutip Bloomberg, Senin (8/12).
Kurang dana
Ramalan Macquarie Group, BHP kekurangan US$ 2,4 miliar untuk membayar dividen tahun 2015. Sementara Rio Tinto membutuhkan US$ 1,5 miliar untuk membayar dividen sesuai estimasi pemegang saham. Sebagai perbandingan, Rio menggelontorkan US$ 3,6 miliar untuk membayar dividen tahun 2013. Nilai ini naik dibandingkan dividen tahun 2012 yang senilai US$ 3,1 miliar.
Sementara, BHP membayar dividen sebesar US$ 6,4 miliar pada tahun 2013, yang berakhir pada tahun buku Juni 2014 lalu. Tahun 2013, BHP merogoh kocek US$ 6,2 miliar di pos dividen.
Per akhir Juni 2014, posisi utang bersih (net debt) BHP sebesar US$ 25,7 miliar. Sementara, utang Rio Tinto sebesar US$ 16 miliar pada Juni 2014.
Sam Walsh, CEO Rio Tinto mengakui, pihaknya memang kekurangan dana segar untuk memenuhi kewajiban dividen. "Tapi kami belum menentukan berutang atau tidak. Kami akan putuskan pada Februari tahun depan," ujar Walsh. Sementara, Andrew Mackenzie, CEO BHP, akan memangkas ongkos produksi dan dana belanja (capex) tahun 2015 untuk memupuk dana dividen.
Chris LaFemina, analis Jefferies LLC menilai, potensi dividen dari emiten pertambangan masih terbuka. Menurut dia, Rio berpotensi mengerek dividen sebesar 15% pada tahun 2015. "Rio akan berutang US$ 2 miliar dan buyback saham US$ 450 juta di Februari tahun 2015 untuk menenangkan investor," tulis LaFemina.
Carlos De Alba, analis Morgan Stanley menyatakan, Vale, produsen nikel terbesar di dunia, berpotensi menjual aset bisnis logam. Aset senilai US$ 35 miliar tersebut dilepas untuk membayar kewajiban dividen tahun 2015.