Reporter: Rika | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Krisis ekonomi yang menghantam Amerika Serikat sejak 2007 semakin menenggelamkan pamor dollar AS. Di pihak lain, keperkasaan China semakin membangkitkan peranan renmimbi terutama dalam perdagangan dunia. Kondisi ini memunculkan prediksi bahwa renmimbi layak bersanding bersama dollar AS dan euro sebagai mata uang utama dunia.
Dalam panel World Economic Forum on East Asia bertema Volatilitas Mata Uang: Menyeimbangkan Fleksibilitas dan Stabilitas, para panelis sepakat bahwa dollar AS takkan berperan sendirian lagi sebagai mata uang dunia di masa yang akan datang. Karena itu, mereka mendiskusikan kemungkinan renmimbi sebagai mata uang internasional, termasuk kemungkinan renmimbi, dollar AS, dan euro dipakai menjadi patokan dalam basket Special Drawing Rights (SDR) atau surat berharga keluaran IMF.
Namun, Deputy Managing Director IMF Naoyuki Shinohara menyatakan renmimbi saat ini masih belum siap. “Renmimbi sudah digunakan untuk transaksi keuangan internasional dan transaksi perdagangan internasional. Namun renmimbi untuk transaksi finansial internasional masih sangat kecil. Jadi masih sangat prematur untuk menempatkan renmimbi sebagai mata uang internasional,” jelasnya, Senin (10/6).
Selain itu, renmimbi juga tak sepenuhnya mudah untuk ditukarkan dengan berbagai mata uang lain. Alessandro Magnoli Bocchi, Kepala Ekonom KCIC yang merupakan perusahaan investasi dari Kuwait menegaskan bahwa dunia yang memiliki lebih dari satu mata uang internasional baru bisa tercapai setidaknya satu dekade lagi. “Pada saat itu akan ada lebih sedikit mata uang di dunia, namun lebih banyak mata uang devisa dunia,” imbuhnya. Saat itu, dollar AS akan kehilangan perannya sebagai mata uang tunggal dunia, euro dan yuan kemungkinan akan menjadi mata uang devisa tersebut.
Namun, dalam jangka menengah sekitar 3 tahun sampai 5 tahun ke depan, ia memprediksi bank-bank sentral di Asia masih akan berperan sama seperti sekarang, begitu pula rezim mata uang di dunia yang masih akan banyak memakai managed exchange rate. “Masih banyak yang memakai instrumen mata uang sebagai alat untuk mendongkrak daya saing dalam perdagangan internasional,” imbuhnya. Ia menyarankan agar negara-negara mengurangi ketergantungan terhadap nilai tukar untuk menambah daya saing. “Lebih baik mengandalkan inovasi yang mengandalkan teknologi lokal,” tambahnya.
Namun, menurut Group CEO Standard Chartered Bank Asia Jaspal S.Bindra tiap negara memiliki strategi masing-masing menyangkut nilai tukar mata uangnya. Pelemahan renmimbi, kata dia, bukanlah sengaja untuk menjatuhkan ekspor Amerika Serikat. “China berupaya untuk memecahkan problemnya sendiri, yakni sebagai negara yang sangat tergantung pada ekspor. Jika itu tak dilakukan, ekspor akan menurun dan akhirnya akan menimbulkan kekacauan sosial,” jelasnya.
Sebaliknya, Singapura justru sengaja membiarkan mata uangnya menguat. Dengan begitu, negara itu bisa mengimpor lebih murah untuk memperkuat pertumbuhan industrinya. Pertumbuhan industri yang tinggi itu pada akhirnya akan menarik investasi asing masuk ke pasar portofolionya.
Contoh yang lebih ekstrem lagi adalah yang diperbuat AS. Saat ini dollar As melemah gara-gara kebijakan quantities easing yang dilakukan pemerintah AS. Pemerintah AS membeli surat utang dari pasar sehingga pasar finansial AS kebanjiran likuiditas. “Sebagian pemulihan AS justru berasa dari hal yang selama ini mereka keluhkan,” imbuhnya.