Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Stephen Hawking memberikan jawaban sederhana ketika ditanya apakah ia percaya kepada Tuhan.
Sebagai salah satu ilmuwan paling terkenal di dunia, pandangannya tentang agama dan ide kehidupan setelah mati mungkin menarik untuk dipahami.
Kontradiksi antara Sains dan Agama
Sains dan agama sering kali tampak bertentangan, misalnya dalam hal teori penciptaan vs teori ledakan besar (Big Bang). Sains cenderung didasarkan pada bukti dan pengamatan, sementara agama, tentu saja, didasarkan pada keyakinan spiritual.
Baca Juga: NASA Mengungkapkan Rencana Menghadapi Kiamat
Mengutip unilad, Hawking, yang meninggal pada tahun 2018 di usia 76 tahun, adalah seorang fisikawan teoretis, kosmolog, dan penulis yang terkenal di seluruh dunia. Ia paling dikenal melalui bukunya yang terbit pada tahun 2002, The Theory of Everything: The Origin and Fate of the Universe, serta karya-karyanya dalam bidang relativitas umum dan gravitasi kuantum.
Pandangan Hawking tentang Tuhan dan Agama
Dalam bukunya yang terakhir, Brief Answers to the Big Questions, Hawking membahas gagasan tentang Tuhan dan agama. Ia menulis: “Selama berabad-abad, diyakini bahwa orang-orang yang disabilitas seperti saya hidup di bawah kutukan yang diberikan oleh Tuhan.”
“Ya, mungkin saja saya telah membuat seseorang marah di atas sana, tapi saya lebih suka berpikir bahwa segala sesuatu bisa dijelaskan dengan cara lain, melalui hukum-hukum alam.”
Hawking menjelaskan pandangannya lebih lanjut tentang agama dengan mengatakan, “Jika Anda percaya pada sains, seperti saya, Anda percaya bahwa ada hukum-hukum tertentu yang selalu dipatuhi. Jika Anda mau, Anda bisa mengatakan bahwa hukum-hukum itu adalah karya Tuhan, tetapi itu lebih merupakan definisi tentang Tuhan daripada bukti eksistensi-Nya.”
Baca Juga: NASA Kehilangan US$80.000.000 Akibat Kesalahan Satu Tanda Baca dalam Pengkodean
Apakah Ada Tuhan atau Kehidupan Setelah Mati?
Hawking kemudian berbicara tentang kemungkinan adanya Tuhan atau kehidupan setelah mati. Ia mengatakan, “Kita masing-masing bebas untuk percaya apa yang kita inginkan, dan pandangan saya adalah penjelasan yang paling sederhana adalah bahwa tidak ada Tuhan.”
“Tidak ada yang menciptakan alam semesta dan tidak ada yang mengarahkan nasib kita. Ini membawa saya pada pemahaman yang mendalam, mungkin tidak ada Surga dan kehidupan setelah mati,” terangnya.
“Kita hanya memiliki satu kehidupan untuk menghargai desain besar alam semesta dan untuk itu saya sangat bersyukur,” tambahnya.
Kehidupan dan Penyakit Hawking
Hawking didiagnosis dengan penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS), jenis penyakit saraf motorik, pada tahun 1963, saat ia berusia 21 tahun.
Baca Juga: Prediksi Kiamat Stephen Hawking, Ancaman Datang Lebih Cepat dari Perkiraan
Pada saat itu, dokter memperkirakan bahwa ia hanya memiliki waktu dua tahun untuk hidup, namun meskipun ia berhasil mengatasi prognosis awal tersebut, kemampuan fisiknya untuk bergerak dan berkomunikasi semakin menurun seiring waktu. Ia kemudian berkomunikasi menggunakan sistem komputer canggih.
Komputer tersebut berbentuk tablet yang dipasang pada kursi rodanya dan ditenagai oleh baterai kursi roda. Layar komputer tersebut memiliki papan ketik yang dikendalikan dengan mendeteksi gerakan pipinya, memungkinkan Hawking untuk mengetikkan apa yang ingin ia katakan.
Saat meninggal pada usia 76 tahun, Hawking adalah penyintas ALS yang paling lama hidup dalam sejarah.