Reporter: Barratut Taqiyyah Rafie | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JALUR GAZA. Sebagian besar rak tampak kosong di toko serba ada Hassan Abu Shabab di pusat Khan Younis. Ini merupakan sebuah kota di Gaza selatan yang populasinya membengkak karena puluhan ribu orang pengungsi dari wilayah utara telah tiba.
Melansir Reuters, beberapa botol minyak goreng dan kaleng tomat tertinggal di satu rak. Selain itu, yang ada hanya permen, tisu toilet, cairan pembersih, dan beberapa barang acak lainnya yang tidak dapat dimakan.
Tidak ada roti, tepung, gula, nasi, daging atau keju. Di luar, dua lemari es yang biasanya berisi minuman soda juga tampaj kosong.
“Sebelum perang, kami biasa menjual barang senilai sekitar 1.000 shekel (US$ 260) per hari. Saat ini, kami tidak punya apa-apa untuk dijual. Orang punya uang, tapi kami tidak bisa menjual barang apapun,” kata Abu Shabab.
“Saya pergi ke semua tempat di sekitar Khan Younis untuk mencari perbekalan tetapi tidak ada apa-apa,” katanya.
Di luar tokonya, duduk Um Ibrahim Al-Agha, seorang perempuan pengungsi, sedang beristirahat sejenak dari pencarian makanan sehari-hari.
Baca Juga: Boikot Anti-Barat Melanda Timur Tengah, Coca Cola Tersingkir
“Sekarang Anda pergi ke toko terbesar di Khan Younis dan Anda tidak menemukan apapun yang Anda butuhkan. Anda tidak menemukan tepung, gula, beras, garam atau apapun untuk diberikan kepada anak Anda,” katanya.
"Kami pergi ke satu toko dan kami tidak menemukan satu biskuit pun. Kami menemukan tisu toilet dan popok. Apakah kami memakannya?" tanyanya.
Kekurangan makanan, air, bahan bakar dan barang-barang lainnya semakin memburuk sejak Israel melancarkan serangan militer dan memberlakukan pengepungan di Jalur Gaza sebagai tanggapan atas serangan 7 Oktober di Israel selatan oleh Hamas, kelompok Islam yang menguasai wilayah pesisir tersebut.
Menurut perhitungan Israel, aksi pejuang Hamas menewaskan 1.200 orang pada 7 Oktober dan menculik 240 orang sebagai sandera.
Baca Juga: Tank-Tank Israel Kepung RS Al Shifa di Gaza, 32 Pasien Meninggal Termasuk 3 Bayi
Sementara, menurut pejabat kesehatan di Gaza, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 11.000 orang dan menyebabkan bencana kemanusiaan.
Ketika warga Gaza utara melarikan diri dari serangan udara Israel dan pasukan darat yang kini mengepung Kota Gaza membagi jalur tersebut menjadi dua, Khan Younis telah dipenuhi dengan tenda-tenda sementara. Sejumlah bangunan lain seperti sekolah, rumah sakit, dan bahkan garasi dipenuhi dengan keluarga pengungsi.
Philippe Lazzarini, komisaris jenderal UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina, mengatakan kerumunan orang sangat intens di fasilitas yang dikelola oleh badan tersebut, seperti sekolah yang ia kunjungi pada hari Minggu yang sekarang menjadi kamp bagi para pengungsi.
"Kelembapan di koridor-koridor ini berasal dari manusia. Anda bisa mencium bau keringat manusia di koridor. Cukup luar biasa. Orang-orang terus tidur di sana karena berada di bawah bendera PBB," katanya melalui tautan video dalam pengarahan kepada negara-negara donor.
Beberapa truk bantuan telah diizinkan masuk dari Mesir, melalui perbatasan Rafah. Namun jumlahnya tidak sebanyak yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat.
Lazzarini mengatakan sekitar 39% kebutuhan pangan sudah terpenuhi.
“Di salah satu provinsi, masyarakat mendapat satu atau dua potong roti dan sekaleng tuna untuk satu keluarga, dan di Rafah hanya satu atau dua potong roti dan sekaleng keju untuk satu keluarga,” katanya.
Baca Juga: Jokowi: Israel Harus Bertanggung Jawab Atas Kekejaman yang Telah Dilakukan
Masih ada beberapa contoh tempat di mana persediaan makanan belum habis, meskipun itu hanya masalah waktu saja jika persediaan baru tidak datang.
Di Rafah, Gaza selatan, sekelompok warga mengolah beras dan daging untuk memberi makan para pengungsi, menggunakan bahan-bahan yang disumbangkan oleh seorang dermawan yang tidak ingin namanya dipublikasikan. Namun stoknya cepat habis.
Sang juru masak, Abu Mohammed, mengatakan para pria tersebut memproduksi 3.000 makanan sehari, menggunakan kayu bakar untuk memanaskan panci logam besar, dan membungkus porsinya dengan aluminium foil untuk dibagikan kepada orang-orang yang tinggal di kamp dan tempat penampungan.
“Kami memasak dengan api kayu karena tidak ada listrik atau gas. Dua hari lagi kami harus berhenti karena stok habis,” katanya.
"Buka perbatasan, buka perbatasan. Kirimi kami beras, ghee, kirimi kami garam dan gula. Kami tidak punya apa-apa," tegasnya.