kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga bisul yang dihadapi Inggris pasca Brexit


Senin, 27 Juni 2016 / 08:12 WIB
Tiga bisul yang dihadapi Inggris pasca Brexit


Sumber: money.cnn | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

LONDON. Hasil voting referendum warga Inggris yang memutuskan hengkang dari Uni Eropa menyebabkan negara Ratu Elizabeth itu mengalami guncangan finansial yang hebat.

Pada akhir pekan lalu, misalnya, saham-saham perusahaan besar Inggris tergerus. Demikian pula halnya dengan saham perbankan. Tidak hanya itu, nilai tukar poundsterling mengalami pelemahan terbesar harian yang mencapai rekornya. Inggris juga harus menelan dipangkasnya outlook pertumbuhan ekonomi mereka tahun ini dan tahun depan.

Segala sesuatunya bisa menjadi lebih buruk lagi bagi negara dengan perekonomian kelima terbesar dunia itu. Kecuali, Inggris bisa mengatasi tiga bisul besar yang menjadi batu sandungan mereka. Apa saja?

1. Perjanjian 'exit' apa saja yang bisa didapat dengan Uni Eropa?

Meski sempat terkejut dengan voting Brexit, para pimpinan Eropa menginginkan perjanjian perceraian secepatnya.

Namun, dengan terjadinya guncangan politik di Inggris untuk tiga bulan ke depan menyusul mundurnya Perdana Menteri David Cameron, hal itu sulit untuk diwujudkan.

Boris Johnson, pimpinan kubu Brexit dan calon utama pengganti Cameron, tidak buru-buru untuk mengajukan Pasal 50 Perjanjian Uni Eropa yang akan dimulai dua tahun mendatang.

Hal ini disebabkan Uni Eropa merupakan partner perdagangan terbesar Inggris. Perusahaan besar dan perbankan di Inggris yang memiliki banyak bisnis di Eropa menghadapai masa depan yang penuh dengan ketidakpastian.

Harian Handelsblatt menulis Jerman akan bersikeras bahwa tidak akan ada akses otomatis bagi Inggris untuk menjual barang dan jasa merea ke 440 juta warga Inggirs di Uni Eropa.

Jika Inggris diperbolehkan mendapatkan akses bebas ke pasar Eropa tanpa menjadi anggota Uni Eropa, hal itu dapat memicu negara lain untuk melakukan hal yang sama.

Hingga saat ini, bagaimana bentuk kerjasama kedua belah pihak masih belum jelas.

2. Bagaimana Inggris menangani 'lubang hitam' finansial mereka?

Masa depan Inggris yang penuh ketidakpastian ke depan diprediksi akan memukul bisnis dan kepercayaan konsumen. Konsekuensinya, Inggris akan mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, stagnasi, atau bahkan resesi.

Bahkan ekonomi Inggris bisa berakhir mini dalam jangka panjang seiring dengan minimnya investasi di Inggris.

Independent Institute for Fiscal Studies sebelum voting dilakukan mengestimasi, lubang anggaran akan semakin membesar dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan. Bahkan nilainya akan melonjak melampaui jumlah kontribusi Inggris kepada Uni Eropa.

"Dalam jangka panjang, pajak harus dinaikkan, anggaran belanja turun dan dana pinjaman publik akan naik," jelas IFS.

Selain itu, pada Jumat (24/6) lalu, Moody's menegaskan pihaknya kemungkinan harus memangkas peringkat utang Inggris dengan alasan ketidakpastian ekonomi dan politik pasca Brexit. Penurunan peringkat utang berpotensi menyebabkan mahalnya biaya pinjaman yang dilakukan pemerintah Inggris.

Sekadar catatan, Inggris memiliki defisit anggaran kedua tertinggi di G7 setelah Jepang, sekaligus defisit tertinggi dalam neraca perdagangan berjalan. Ini artinya, Inggris harus meminjam dana lebih banyak dari negara lain di dunia untuk membiayai impor mereka dibanding negara maju lainnya.

Jika investor mulai menarik dana investasi mereka keluar dari Inggris, hal ini akan semakin menekan poundsterling. "Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana Inggris akan mendanai defisit neraca perdagangan berjalan mereka dan bagaimana peran poundsterling sebagai satu dari beberapa mata uang cadangan global?" kata Moody's.

3. Bagaimana para pemimpin Brexit merealisasikan janji-janji mereka?

Tidak seperti pemilu presiden, kampanye referendum tidak mendapatkan dukungan dari politisi dari banyak partai. Namun, dalam hal janji-janji, kampanye yang dilakukan hampir sama. Sejumlah pihak bahkan ada yang menyesali keputusannya memilih Brexit.

Kantor resmi kubu Brexit, misalnya mengklaim Uni Eropa membebani Inggris senilai 350 juta poundsterling per minggu. "Cukup untuk membangun rumah sakit baru dengan karyawan penuh setiap minggu." Klaim ini dinilai misleading bagi warga Inggris.

Nigel Farage, pimpinan Partai Kemerdekaan Inggris yang mengampanyekan Brexit, mengatakan dana yang disumbangkan ke Uni Eropa dapat digunakan untuk jasa kesehatan di masa yang akan datang merupakan kesalahan.

"Tidak, saya tidak bisa menjaminnya. Saya tidak pernah mengatakan klaim itu. Itu merupakan salah satu kesalahan yang dilakukan kampanye kubu Brexit," kata Farage di British TV.

Siapapun orang yang akan menggantikan Cameron sebagai perdana menteri juga harus menghadapi tantangan lain.

Kubu Brexit mengatakan kepada petani Inggris dan kawasan miskin -seperti Cornwall- bahwa mereka tidak akan kehilangan dana finansial saat subsidi Uni Eropa dan dana infrastruktur dicabut. Mereka juga memberikan komitmen yang serupa untuk menyokong universitas dan peneliti Inggris. Kelompok ini merupakan kelompok kedua terbesar yang mendapatkan dana dari Uni Eropa.




TERBARU

[X]
×