kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

UNOG pertanyakan larangan partisipasi industri tembakau dalam agenda SDGs


Senin, 05 Agustus 2019 / 17:26 WIB
UNOG pertanyakan larangan partisipasi industri tembakau dalam agenda SDGs


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JENEWA. Direktur Jenderal United Nations Office of Geneva (UNOG), Michael Moller, mempertanyakan larangan terhadap industri tembakau dalam mewujudkan agenda pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals) pada 2030 mendatang. 

Menurut dia, industri tembakau justru dapat berperan serta dalam mewujudkan agenda tersebut.

Dalam sebuah memo yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, pada 28 Juni 2019 lalu, Michael mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) telah mendeskripsikan tembakau sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan masyarakat. Sebab, tembakau telah menewaskan 8 juta orang per tahunnya.

Baca Juga: Industri sigaret kretek tangan (SKT) dinilai bisa mengurangi pengangguran

“Terlepas dari upaya global untuk mengekang konsumsi tembakau, perkiraan menunjukkan bahwa jumlah perokok diproyeksikan akan tetap 1.1 miliar pada tahun 2025. Meskipun, sudah ada upaya pengendalian tembakau,” kata Moller, seperti dikutip dari foreignpolicy.com.

Bagaimanapun, dia meneruskan, tujuan dari pembangunan yang berkelanjutan adalah untuk tidak meninggalkan siapapun. “Menyiratkan perlunya juga meningkatkan kehidupan lebih baik dari 1 miliar orang yang akan terus menggunakan produk tembakau dan semua yang dipekerjakan oleh industri di seluruh dunia,” tegas dia. 

Sampai sejauh ini, Moller belum melihat adanya dampak signifikan dari kemitraan dengan sektor swasta yang memainkan peran kunci dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi, sebagai mekanisme penting untuk pembangunan yang berkelanjutan. 

Baca Juga: BPS: Inflasi tertinggi terjadi di Sibolga sebesar 1,88%

Menurut dia, industri tembakau merupakan bisnis yang sah karena membayar pajak terhadap pemerintah. Oleh karena itu, industri tembakau memiliki hak berpartisipasi dalam mewujudkan untuk meminimalkan risiko kesehatan dan masalah lainnya. 

“Ini terutama berlaku bagi mereka yang telah melakukan penelitian yang sangat maju untuk meminimalkan efek berbahaya dari produk mereka sendiri,” ujarnya. 

Menurut Moller, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus sangat terikat dengan Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control), sehingga mengecualikan industri tembakau dalam sistem PBB.  

Baca Juga: Bursa Efek Indonesia (BEI) menyiapkan tiga indeks saham baru di semester kedua ini

“Bagaimanapun, kebijakan ini tetap dipertanyakan mengenai larangan total, meski berhadapan satu sama lain, tujuan pembangunan berkelanjutan adalah untuk tidak meninggalkan siapapun di belakang,” ucap Moller, yang posisinya akan digantikan oleh Tatiana Valovaya dari Rusia, pada Agustus mendatang. 

Oleh karena itu, Moller menyarankan untuk melakukan pertimbangan pendekatan yang lebih “bernuansa” terhadap sistem PBB, yang kondisinya berhadapan satu sama lain dengan industri tembakau. 

“Faktanya, pengecualian terhadap industri tembakau dari diskusi kelompok penyakit tidak menular, untuk tidak mengatakan apa-apa terkait pengusiran mereka dari United Nations Global Compact, dapat menjadi kontraproduktif terhadap ambisi kita untuk menyampaikan agenda 2030,” kata dia.

Baca Juga: Harga cabai rawit makin pedas, inflasi Juli naik tipis




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×