Sumber: Reuters | Editor: Harris Hadinata
KONTAN.CO.ID - SHENZHEN. Vanke, salah satu pengembang properti besar di China, gagal mendapatkan persetujuan pemegang obligasi untuk memperpanjang pembayaran obligasi yang jatuh tempo Senin (15/12). Vanke berupaya mendapat persetujuan untuk memperpanjang tenor selama satu tahun
Reuters melaporkan, ini terungkap dari pengajuan dokumen oleh Vanke kepada National Association of Financial Market Institutional Investors China. Kegagalan ini meningkatkan risiko gagal bayar bagi pengembang dan memperbarui kekhawatiran tentang sektor properti China yang dilanda krisis.
Vanke telah melakukan pemungutan suara sejak Rabu (10/12) lalu. Pada Jumat (12/12), akhir pemungutan suara, pemegang obligasi menolak permintaan perpanjangan tenor dan memberi Vanke masa tenggang lima hari untuk membayar utang obligasi senilai 2 miliar yuan, setara Rp 4,72 triliun.
Baca Juga: Wijaya Karya (WIKA) Kantongi Restu Perpanjangan Jatuh Tempo Pokok Obligasi
Usulan untuk menunda pembayaran pokok dan bunga selama satu tahun tanpa dukungan kredit tambahan ditolak. Ada 76,7% pemegang obligasi menentang permintaan perpanjangan tenor tersebut.
Selain itu, ada dua usulan lain untuk obligasi yang sama. Usulan yang mencakup langkah-langkah peningkatan kredit, mendapat dukungan, dengan satu usulan memperoleh persetujuan 83,4%
Akan tetapi, persetujuan atas proposal Vanke membutuhkan dukungan dari setidaknya 90% pemegang obligasi yang memiliki hak suara. Dengan demikian, usulan tersebut tidak memenuhi ambang batas.
Baca Juga: 7 Bank Punya Obligasi Jatuh Tempo Bulan Juli Ini, Siapa Saja?
Vanke juga berupaya memperpanjang pembayaran kembali obligasi yuan senilai 3,7 miliar yuan yang jatuh tempo pada 28 Desember, setidaknya untuk satu tahun. Rapat pemegang obligasi terkait rencana ini dijadwalkan digelar pada 22 Desember.
Yao Yu, Founder perusahaan riset kredit RatingDog, memperkirakan, Vanke akan mengusulkan perpanjangan masa tenggang menjadi 30 hari kerja. "Jika pemegang obligasi menyetujui, itu akan memberi pengembang lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan investor dan mencapai konsensus," papar Yao, seperti dikutip Reuters, Minggu (14/12).
Lembaga pemeringkat S&P Global menurunkan peringkat Vanke pada 28 November. S&P menilai, komitmen keuangan Vanke tidak berkelanjutan karena tingkat likuiditasnya yang lemah. Selain itu, perusahaan ini rentan terhadap risiko gagal bayar atau restrukturisasi yang bermasalah.
Baca Juga: Obligasi dan Sukuk LPEI Senilai Rp 535 Miliar Akan Jatuh Tempo November 2025
Sekitar 30% saham Vanke dimiliki oleh Shenzhen Metro Group, yang merupakan badan usaha milik negara. Dukungan negara dianggap oleh beberapa analis cukup untuk mencegah perusahaan tersebut terjerumus ke dalam masalah keuangan yang lebih serius.
Reuters melaporkan bulan lalu bahwa China International Capital Corporation, perusahaan milik negara, telah dilibatkan untuk menilai utang Vanke dan bahwa restrukturisasi utang adalah salah satu opsi.
Restrukturisasi utang oleh Vanke, dengan kewajiban berbunga sebesar 364,3 miliar yuan, berpotensi melampaui gagal bayar yang dialami oleh perusahaan swasta sejenis seperti Evergrande dan Country Garden dalam dekade ini.
Baca Juga: Tanpa Jaminan Implisit Negara, Ini Strategi BUMN Tambal Obligasi Jatuh Tempo
Vanke merupakan perusahaan properti terafiliasi negara dan memiliki banyak proyek properti di kota-kota besar di China. Perusahaan ini jadi salah satu pengembang properti yang paling terpukul oleh krisis properti yang dimulai pada 2021.
Sejak krisis dimulai hingga saat ini, sektor properti terus terpukul melambatnya permintaan. Padahal sektor ini pernah menyumbang seperempat dari produk domestik bruto China.
Sentimen pembelian rumah saat ini masih terpengaruh oleh gagal bayar pengembang. Kondisi ini akhirnya ikut menekan pertumbuhan ekonomi negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini.
Menurut survei triwulanan Reuters bulan ini, harga rumah di China diperkirakan akan turun 3,7% tahun ini dan terus turun tahun depan sebelum stabil pada tahun 2027.
Masalah utang terbaru di pengembang besar Tiongkok ini diperkirakan akan membebani sentimen pasar dan memperbarui seruan investor untuk langkah-langkah stimulus guna menghidupkan kembali sektor ini. Bagi Beijing, kesehatan sektor properti sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.













