Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - WASHINGTON. Setelah berbulan-bulan mengancam akan mengenakan tarif dan menekan sekutu agar meningkatkan belanja pertahanan, banyak negara di Asia waspada terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Tapi, dalam kunjungannya pekan lalu, Trump membuat gambaran baru AS berdiri di sisi sekutunya di Asia.
Dalam lawatan ke Korea Selatan, Jepang, dan Malaysia, Trump, seperti dikutip Bloomberg, memperkuat hubungan diplomatik, ekonomi dan pertahanan dengan para mitra lama AS, sembari menandai persaingan geopolitik dengan China. Di Korea Selatan, AS mendapat janji investasi
US$ 350 miliar dan menyetujui penurunan tarif impor.
Sementara dengan Jepang, Trump mendapat janji investasi US$ 550 miliar. Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi, Trump berjanji Jepang dapat meminta bantuan dalam hal apa pun. Ia juga menjaga hubungan dengan Taiwan.
Baca Juga: Xi Jinping Hadiri KTT APEC Pasca Gencatan Senjata Perdagangan dengan Trump
Trump juga berupaya memperbaiki hubungan dengan negara Asia Tenggara, yang dalam beberapa tahun terakhir semakin dekat dengan China. Ia menandatangani perjanjian dagang dengan Kamboja dan Malaysia, serta kerangka kerja perdagangan baru dengan Thailand dan Vietnam.
Trump juga mencapai sejumlah kesepakatan dengan China, seperti pengurangan tarif AS atas produk terkait fentanil. China juga sepakat menghentikan pembatasan ekspor mineral tanah jarang, AS bersedia menghentikan penangguhan ekspor teknologi. China juga berjanji akan membeli kedelai dan produk pertanian AS.
Gaya baru
Sayangnya, hubungan AS dengan India masih terlihat memanas. Perdana Menteri India Narendra Modi tidak hadir dalam KTT APEC.
Analis menilai negara Asia kini harus menyesuaikan dengan realitas Trump 2.0, dengan akses perdagangan yang lebih mahal dan ketidakpastian diplomatik khas Trump. Deklarasi akhir APEC kali ini pun tidak menyebut istilah multilateralisme atau World Trade Organization (WTO) seperti tahun lalu.
Menurut Heo Yoon, profesor perdagangan internasional Universitas Sogang, Seoul, ini mencerminkan pengakuan tatanan perdagangan bebas berbasis WTO sulit dipulihkan. "Kami tak bisa lagi menyangkal adanya pergeseran paradigma dalam tatanan perdagangan global," ujar dia.
Menurut Bonnie Glaser dari German Marshall Fund, kebijakan luar negeri Trump tetap tidak mengikuti pendapatan yang lazim seperti pemimpin sebelumnya. Menurut dia, ini mencerminkan gaya diplomasi pribadi, pesan kekuatan dan sulit ditebak













